Mencari Terang Kasus Muslim Uighur

3866
Ternyata, apa yang disebut sebagai ekstremis atau teroris di Indonesia dan di China ada perbedaan.

Oleh : Lutfi Awaludin Basori

JELANG penutup tahun 2019, isu Uighur di Xinjiang, kembali ramai dibicarakan. Dengungannya semakin kencang setelah pemain sepak bola Jerman, Mesut Ozil buka suara soal isu ini. Bahkan di Indonesia isu ini memantik perdebatan, membelah menjadi dua kubu.

Satu kubu memandang bahwa Beijing menyiksa Muslim Uighur dan melarangnya menjalankan ajaran-ajaran Islam. Kubu lain menyebut apa yang dilakukan pemerintah China adalah upaya menanggulangi separatisme, sebab Uighur memiliki sejarah berupaya memisahkan diri dari China.

Salah satunya dilakukan oleh kelompok East Turkestan Islamic Movement (ETIM) yang terdiri dari orang Uighur. Ditambah lagi baru-baru ini ada pengaruh Al Qaeda dan ISIS.

Beijing membangun kamp-kamp konsentrasi dan mereka sebut sebagai “kamp pendidikan” di Xinjiang. Pemerintahan Xi Jinping mengatakan kamp-kamp itu bertujuan untuk memberi pendidikan tentang undang-undang dan aturan pemerintah. Selain itu juga untuk memberantas pikiran ekstremisme, terorisme agama, dan untuk menyembuhkan penyakit ideologis.

Sementara sebagian orang di Indonesia melihat apa yang disebut sebagai “kamp pendidikan” oleh Beijing adalah “kamp penyiksaan” kepada Muslim Uighur. Kemudian menyimpulkan, bahwa Beijing menindas dan menyiksa Muslim Uighur di Xinjiang.

Human Right Watch (HRW) mengatakan setidaknya sekitar 1 juta warga Muslim Turkic berada di kamp-kamp pendidikan itu. Yang dimaksud etnis Turkic di Xinjiang antara lain Uighur dan Kazakh. Selain Muslim Turkic, HRW juga mencatat ada sebagian kecil dari Muslim Hui yang menjadi penghuni kamp.

Bila kita mengatakan semua yang dipaksa masuk ke kamp itu adalah orang-orang dengan ideologi ekstrem atau teror tentu tak sepenuhnya bisa diterima. Sebab dari sekian banyak warga Uighur hanya sebagian kecil saja yang bergabung dengan kelompok teror. Dan ini tak bisa membenarkan seluruh Uighur adalah teroris atau separatis. Sehingga mereka semua harus dijaga atau dimasukkan ke kamp.

Ternyata, apa yang disebut sebagai ekstremis atau teroris di Indonesia dan di China ada perbedaan. Dokumen polisi China memiliki 75 tanda seseorang itu adalah ekstremis. Di antaranya kepemilikan kamus, peta, dan alat-alat olahraga atau fitnes. Warga Turkic di Xinjiang hanya boleh menyimpan makanan di rumah mereka.

Bahan dokumen resmi China juga mengatakan memiliki kategori yang sangat luas dan tidak baku untuk mengindikasikan seseorang sebagai terorisme. Jadi, bila seseorang memiliki satu dari 75 tanda ekstremisme, maka dia akan dijebloskan ke “kamp pendidikan”. Tanpa harus melalui peradilan atau persidangan lebih dulu.

Di dalam kamp, mereka dipaksa menerima indoktrinasi pandangan politik. Beijing berupaya menjadikan mereka sebagai anggota partai komunis. Mengubah mereka dan dipaksa berbicara mandarin. Beijing berupaya menjadikan mereka seperti orang-orang China Han dan meninggalkan indentitas Uighurnya.

Mereka belajar menyanyikan lagu kebangsaan China, belajar menjadi pendukung partai komunis China, belajar bahasa China dan menulis dengan menggunakan karakter China. Mereka bisa selamanya berada di kamp itu hingga otoritas China menyatakan benar-benar lulus.

Jika mereka gagal mengubah padangan politiknya atau menolak perintah, mereka akan dianiaya dan disiksa.
(Penyiksaan disini bukan seperti yang tersebar di internet dengan gambar-gambar yang tak jelas sumbernya, tapi berdasarkan para saksi di laporan HRW berjudul “Eradicating Ideological Viruses” China’s Campaign of Repression Against Xinjiang’s Muslims”).

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.