Beruntungnya, sebelum mereka beraksi, Densus 88 lebih dulu menciduk Nur Sholihin, Dian, dan orang-orang lain dalam kelompoknya. Maka gagal-lah Dian menjadi ‘pengantin’ perempuan pertama di Indonesia.
Dua tahun kemudian, yaitu pada Mei 2018, Indonesia dikejutkan dengan serangan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Ketiga serangan itu dilakukan oleh satu keluarga, yaitu keluarga Dita Oepriarto.
Ia membagi tugas istri dan anak-anaknya untuk melakukan bom bunuh diri. Satu dari tiga serangan itu dilakukan istri Dita, Puji Kuswati dengan dua anak perempuannya.
Maka jadilah Puji sebagai ‘pengantin’ perempuan pertama di Indonesia.
Yang mengkhawatirkan dari serangan teror di Surabaya adalah peristiwa itu akan dijadikan sebagai “role model” atau percontohan. Artinya, kasus bom Surabaya akan mendorong perempuan lain untuk mengikuti jejak Puji menjadi ‘pengantin’. >>>ke halaman 2
Benar saja, setahun kemudian, tepatnya pada Maret 2019, muncul ‘pengantin’ perempuan kedua pada kasus bom di Sibolga, Sumatra Utara.
Asmar Husain alias Abu Hamzah dan istrinya Marnita Sari Boru Hutauruk alias Solimah siap menjadi ‘pengantin’ seperti keluarga Dita di Surabaya.
Namun, Abu Hamzah berpikir tak cukup berdua, butuh lebih banyak orang untuk melakukan aksi terornya. Dia pun kemudian berburu ‘pengantin’ perempuan dan didapatnya dua orang yaitu Roslina alias Syuhama dari Tanjung Balai, Sumatra Utara dan Yuliati Sri Rahayuningrum alias Khodijah dari Klaten, Jawa Tengah.
Belum lagi juga rencana Abu Hamzah terlaksana, dia keburu dicokok Densus 88. Yang menarik, ketika polisi datang ke rumah Abu Hamzah untuk menggeledah rumah itu, Solimah menolak untuk menyerah, bahkan dia melakukan perlawanan.
Meski telah dibujuk oleh polisi dan suaminya sendiri untuk menyerahkan diri, Solimah tetap berkukuh. Bahkan Solimah sempat menyerang polisi dengan melempar bom dari atap rumahnya dan mengakibatkan sejumlah polisi terluka.
Beberapa jam kemudian, Solimah memutuskan untuk meledakan diri di rumahnya bersama dengan seorang anaknya. Padahal dalam doktrin ISIS, perempuan harus mengikuti apa kata suaminya, namun karena Abu Hamzah berada di tangan polisi, besar kemungkinan Solimah menganggap apa yang disampaikan suaminya saat itu karena pengaruh polisi. Maka dia memutuskan mengambil sikap tak menuruti suaminya.
Selanjutnya, peristiwa pemboman di Malpolrestabes Medan, pada November 2019 menguak peran baru perempuan. Sebab polisi menduga RMN, pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan dipapar paham radikalisme oleh istrinya, DA. Sehingga RMN memutuskan untuk menjadi ‘pengantin’ dalam serangan teror di markas polisi itu.
Tak hanya membuat RMN menjadi ‘pengantin’, DA menurut polisi juga kerap berkomunikasi dengan Napiter berinisial I yang saat ini mendekam di Lapas Kelas 2 Wanita di Medan. Dari komunikasi di media sosial mereka, polisi mencurigai DA dan I merencanakan aksi teror di Pulau Dewata.
Dari seluruh paparan di atas, dapat dilihat bagaimana evolusi perempuan dalam lingkaran terorisme. Berawal hanya berada di belakang layar, mengurusi suami dan anak, lalu maju satu langkah dengan menjadi ‘pengantin’. Terakhir, mereka, yaitu DA dan I sudah merancang aksi mereka sendiri.
Rangkaian ini seharusnya menjadi ‘lonceng peringatan’ bagi pemerintah untuk berhenti memandang sebelah mata perempuan yang berada dalam lingakaran terorisme. Sebab, bisa dibilang untuk saat ini aksi terorisme bebas gender. Mereka tak lagi melihat sebagai pria atau wanita untuk menjadi ‘pengantinnya’, tapi lebih fokus kepada tercapainya tujuan mereka.