Merandai Tanda Zaman di Atas Kain Kanvas

2739

“Kami bahagia. Tradisi seni rupa realis di Indonesia ternyata masih terus berlanjut.”

Sudjud berpendapat bahwa di Pasuruan pernah ada tradisi panjang seni gambar realis. Sebab rata-rata seniman Pasuruan adalah bukan seniman murni. Banyak dari mereka yang punya pekerjaan lain.

“Pertanyaannya bagaimana bisa mereka berkarya sebagus itu? Okelah kalau latihan. Tapi saya pikir tidak sesederhana itu. Asumsi saya, mungkin di tahun 60-an banyak perupa realis di Pasuruan,” ujarnya.

Mengenai sekat-sekat teritori yang terkadang menjadi penghalang seniman daerah untuk berkembang, hal itu dibantah oleh Sudjud.

Dengan berkembangnya akses terhadap dunia digital, seniman-seniman di daerah tumbuh menjadi pembelajar mandiri. Melalui platform digital, akses ke dunia luar menjadi tak terbatas.

Ia kemudian mencontohkan salah satu perupa Pasuruan Garis Edelweis yang karyanya beberapa kali ikut di pameran yang berskala internasional.

Terakhir, Sudjud menegaskan bahwa Pasuruan layak disebit sebagai Kota Seni Gambar. Argumentasinya bisa dilihat pada kanvas-kanvas perupa Pasuruan yang dipajang di pameran ini. ke halaman 2

“Kalau ada orang yang mengaku pandai menggambar, harus lihat Pasuruan dululah,” pungkasnya.

Gerakan Seni Rupa di Pasuruan
Pagelaran seni bertajuk “Sangkar Matahari” oleh Sanggar Cuci Otak Rahmat Alam.

Sanggar seni Cuci Otak Rahmat Alam (CORA) tidak bisa dilepaskan dari dinamika gerakan seni rupa di Pasuruan. Berdiri sejak tahun 2004, sanggar yang dipimpin Achmad Rosidi tersebut melahirkan banyak seniman muda di Pasuruan.

Bahkan sanggar yang bertempat di Jalan Jambangan tersebut pada tahun 2010 berkesempatan mengikuti Festival Teater Dunia di Contact Theatre, Manchester, Inggris. Mereka menyisihkan 150 kelompok teater dari seluruh dunia.

Kemudian pada tahun 2007, Rosidi bersama kawan-kawan guru kesenian se-Pasuruan membentuk Komunitas Guru Seni Pasuruan (KGSP). Sejak KGSP berdiri kemudian lahirlah pameran seni Gandheng-Renteng.

Pameran Gandheng-Renteng yang paling memukau adalah Gandheng Renteng #6 pada tahun 2016. Selama sepekan digelar, acara itu dikunjungi 30.000 pengunjung.

Kurator seni rupa asal Jogjakarta Wahyudin pada waktu itu berkomentar, jumlah tersebut merupakan rekor baru dalam sejarah kepenontonan seni rupa kontemporer di Indonesia. Bahkan acara pameran seni bergengsi di Jogjakarta Artjog hanya dikunjungi 15.000 penonton dalam sepekan.

Setelah tahun 2010 di Pasuruan mulai muncul secara sporadis gerakan-gerakan seni rupa lainnya.

Beberapa gerakan itu di antaranya adalah Bolo Wetan (Kuaspatis Art Space Gang 8), Bolo Kulon (Pawitra Art Space), Alkmart Purwosari, dan lain sebagainya. Menurut Rosidi, total sampai saat ini di Pasuruan Raya ada 10 kelompok seni rupa.

Pada awal-awal berjalan, pameran-pameran yang digelar oleh KGSP bersama pegiat seni lainnya di Pasuruan kerap tidak mendapatkan dukungan signifikan dari Pemkot Pasuruan. Lubang-lubang ketika acara berlangsung ditambal sendiri oleh anggota dengan urunan atau mencari donatur.

Dukungan Pemkot baru kongkrit sejak adanya gedung kesenian. Namun bagi pegiat seni rupa, gedung itu pun kurang representatif untuk pameran.

“Kalau untuk seni pertunjukkan mungkin cocok. Kalau untuk pameran seni rupa kurang representatif,” ujar Rosidi.

Sihabudin, perupa muda yang karyanya lolos kurasi di Pameran “Merandai Tanda-Tanda Zaman” merupakan anak asuh Rosidi di sanggar CORA.

Karyanya mendapat apresiasi dari kurator. Teknik, objek gambar, hingga aspek imajinasi dalam gambarnya mendapat pujian dari kurator. Pun karya Sihabudin-lah yang dijadikan cover katalog pada pameran kali ini.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.