Terkena glaukoma sejak usia 7 tahun sampai alami tuna netra, bukan penghalang bagi Arizky Perdhana Kusuma (32) berprestasi. Naik bus hingga puluhan kilometer ditempuhnya untuk mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Asih Kraksaan.
Laporan : Sundari Adi Wardhana
WAKTU menunjukkan pukul 04.00 WIB, ketika Arizky Perdhana Kusuma bangun dari tidur lelapnya. Ia pun bersiap-siap ke kamar mandi untuk membasuh diri, yang dilanjut Salat Subuh. Setelah itu, ia menyiapkan diri untuk berangkat ke SLB Dharma Asih Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.
Menggunakan jasa ojek online, ia berangkat dari kediamannya di Gang I Jalan Gubernur Suryo Kelurahan/Kecamatan Kenigaran, Kota Probolinggo.
Menuju halte bus Randu Pangger Kelurahan Wiroborang, Kecamatan Mayangan, sejauh 5,3 kilometer.
Di halte ini, ia menunggu bus umum menuju Alun-alun Kota Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.
“Dulu untuk ke halte bus diantar oleh keluarga, kadang adik atau ayah. Sekarang lebih banyak menggunakan jasa ojek online. Baik ketika berangkat maupun pulang. Kalau ke Kraksaan menggunakan bus umum atau MPU (mobil penumpang umum, red),” tutur ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Probolinggo itu.
Perjalanan sejauh 23 kilometer dengan bus umum, ditempuh sekitar 1 jam. Kru bus sepertinya sudah mengenal Rizky, sehingga tidak perlu lagi menanyakan di mana ia akan turun.
Setiap pagi, bus selalu berhenti di sisi timur Alun-alun Kota Kraksaan, sampai kemudian Rizky turun dari bus.
Sisa perjalanan menuju SLB ditempuh dengan berjalan kaki, yang tentu saja dibantu dengan tongkat. Total jarak 52 kilometer ditempuhnya setiap hari.
Di lembaga pendidikan milik Yayasan Dharma Asih itu, Rizky mengampu pelajaran di SMP dan SMA LB.
Ada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, Bahasa Indonesia, Matematika dan lainnya, yang diajarkan oleh lajang ini.
“Saya mengajar SMP dan SMA. Untuk SD ada guru yang lain,” ujar pemegang Master Pendidikan Luar Biasa dari UNESA itu.
Sebagai pendidik, Rizky mendorong para difabel untuk mengeyam pendidikan umum. Agar mereka bisa memasuki dunia kerja. Sesuai keahlian skill yang dimiliki. Apalagi saat ini, sudah ada sekolah inklusi yang ditetapkan pemerintah.
“Pasca lulus SMA, kami mendorong siswa maupun rekan difabel lainnya untuk menempuh pendidikan umum, bukan pendidikan Luar Biasa. Sebab kecenderungan rekan-rekan difabel adalah masuk di LB. Sehingga begitu lulus, mereka tidak terserap dunia kerja. Dan hanya terserap di sekolah LB saja,” ungkap putra dari Bambang Suprianto dan Sri Utami itu.
Dorongan pria yang terkena glaukoma hingga menderita kebutaan itu bukan tanpa alasan. Salah satunya adalah, tidak terserapnya rekan-rekan difabel pada seleksi CPNS Kabupaten Probolinggo pada 2018 lalu.
Di mana Pemkab Probolinggo melalui Badan Kepegawaian Daerah (BKD) mengalokasikan 2% dari kuota formasi yang didapat. Kuota itu dipergunakan untuk merekrut guru sekolah dasar di beberapa sekolah inklusi.
Sayangnya, kuota itu tidak terserap oleh rekan difabel. Masalahnya, kelompok ini terkendala regulasi yang ditetapkan.
Saat itu, rekan difabel yang mendaftar menggunakan ijazah S1 LB, bukan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) sebagaimana yang dipersyaratkan.
“Karena itu, saya berharap pemerintah merubah regulasi. Kan tidak harus seperti itu, kan bisa di-training terlebih dahulu. Tergantung yang dibutuhkan. Karena itu, saya mendorong tidak di pendidikan luar biasa-lah, kalau semua ambil di luar biasa siapa nanti yang diajar,” kata pria kelahiran 21 Januari 1987 itu.
Ia juga mendorong rekan-rekan difabel untuk aktif dalam berbagai kegiatan. Baik lewat lembaga formal maupun organisasi kemasyarakatan.