Jakarta (wartabromo.com)- Ancaman keamanan dan kekerasan masih menjadi persoalan serius jurnalis di Indonesia. Hal itu tergambar dari hasil riset yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan International Federation of Journalists (IFJ).
Sasmito Madrim, ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia mengatakan, riset tersebut memang untuk menyasar potensi kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. “Dan hasilnya, sebagian besar responden mengakui kekerasan karena kerja-kerja jurnalistik masih terjadi,” katanya.
Celakanya, kekerasan yang bisa diartikan sebagai upaya intimidasi kebebasan pers itu tidak hanya terjadi pada jurnalis bersangkutan. Tapi, juga orang dekat dan keluarga si jurnalis.
Sasmito mengatakan, riset dilakukan terhadap 510 jurnalis di seluruh wilayah Indonesia. Dari ratusan responden itu, 67 persen merasa tidak aman melakukan kerja-kerja jurnalistik karena maraknya kekerasan, baik fisik dan non fisik terhadap jurnalis
Temuan ini selaras dengan serangkaian kekerasan terhadap jurnalis. Dalam kericuhan aksi demostrasi massa, pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta misalnya, AJI Jakarta mencatat sedikitnya 20 jurnalis menjadi korban kekerasan.
Tingginya angka korban yang terjadi pada dua hari itu, menjadikan insiden ini sebagai kasus terburuk sejak reformasi.
“Ini terjadi karena tidak adanya penanganan kasus oleh aparat. Apalagi jika kasus kekerasan ini melibatkan personel kepolisian. AJI meminta kasus ini diselesaikan dengan tuntas menggunakan delik Undang Undang Pers,” terang Sasmito.
Selain kekerasan fisik, bentuk ancaman lain yang terjadi saat ini, adalah doxing -pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis tidak sesuai dengan aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya melalui media sosial untuk tujuan negatif.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sendiri merupakan afiliasi IFJ dan merupakan bagian dari SEAJU (South East Asia Journalists Unions/Serikat Jurnalis Asia Tenggara).
Di sisi lain, meski kekerasan terhadap jurnalis masih menjadi ancaman, pemerintah justru terkesan abai. Hasil riset menunjukkan upaya pemerintah untuk melindungi jurnalis masih rendah.
Laporan pada tahun ini adalah laporan kedua yang diluncurkan dari kolaborasi IFJ dan SEAJU. Riset pertama diluncurkan tahun lalu. Pada 2019, riset terwujud berkat dukungan Media, Safety and Solidarity Fund (MSSF) dan the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO).
Pada Asia Tenggara, riset ini melibatkan 1.270 jurnalis dan pekerja media dari tujuh negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Timor Leste. (asd/asd)