Menggugat Legitimasi Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020

1650

Maka didasarkan pada ketiga bentuk pemberian atau pelimpahan kewenangan di atas, menurut penulis bentuk pemberian atau pelimpahan yang mendekati adalah pelimpahan dalam bentuk mandat. Tetapi mandat yang dilimpahkan itu adalah tugas-tugas rutin, dengan alasan pejabat definitif berhalangan sementara atau tetap. Sedangkan Panwas kabupaten/kota saja belum terbentuk atau belum ada, sehingga bentuk mandat pun tidak dapat dilakukan oleh Bawaslu RI atau Bawaslu provinsi.

Karena jika bentuk pelimpahan kewenangan adalah delegasi, maka pendelegasian kewenangan itu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan di dalam UU 10/2016 tidak ada yang mengatur terkait dengan pemberian kewenangan pendelegasian itu.
Kenapa begitu? karena dasar hukumnya berbeda.

Persoalan utama kelembagaan pengawas ini terkait dengan nomenklatur Panwas kabupaten/kota yang bersifat adhoc yang diberikan kewenangan melakukan tugas pengawasan penyelenggaraan pilkada dan bukan Bawaslu Kabupaten/Kota.
*
Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur menyatakan, bahwa penyelenggaraan Pilkada bukanlah gawenya Bawaslu, dan tugas-tugas Bawaslu kabupaten/kota adalah sama dengan tugas-tugas yang dilakukan oleh Panwas pemilihan kabupaten/kota, dan terdapat asas hukum kemanfaatan.
Dalam perspektif legitimasi kelembagaaan pun tidak dibenarkan, sehingga pihak yang mengeluarkan statemen tersebut harus belajar kembali ilmu hukum dan hukum administrasi negara.

Baca Juga :   TEGAS Ngaku Realistis, Targetkan 60% Suara Kemenangan

Fakta telah membuktikan terkait dengan keberadaan 2 (dua) lembaga pengawas, terjadi di Provinsi Aceh, ada Bawaslu Provinsi Aceh hasil bentukan Bawaslu. Ada Panwaslih Provinsi Aceh hasil bentukan DPR Aceh sebagaimana amanat peraturan di Provinsi Aceh, yang sama-sama memiliki kewenangan melakukan pengawasan.

Sehingga jangan meremehkan persoalan kelembagaan dalam perspektif pikirannya sendiri, jika tidak memahami hukum, dengan dalih, bahwa saat ini Bawaslu kabupaten/kota-nya sudah ada. Tetapi tidak menyadari, bahwa UU 10/2016 yang diakui lembaganya adalah Panwas kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pilkada.

Hal senada disampaikan Kemendagri dalam sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Oktober 2019, yang menegaskan, bahwa cenderung mempertahankan lembaga Panwas kabupaten/kota untuk mengawasi penyelenggaraan pilkada tahun 2020, karena Bawaslu Kabupaten/Kota tidak punya payung hukum, karena Pilkada bersifat dinamis, sehingga keberadaan lembaga pengawas yang bersifat adhoc lebih baik karena sudah sesuai dengan payung hukum UU Pilkada. ke halaman 3

Baca Juga :   Masa Tenang, KIPP Pasuruan Masih Temukan APK di Jalanan

Dan keberadaan Panwas kabupaten/kota telah berakhir berdasarkan ketentuan pasal 563 ayat (2) UU 7/2017. Artinya UU 7/2017 tidak mengakui Panwas kabupaten/kota.
Kenapa UU 7/2017 tidak mengakui Panwas kabupaten/kota? karena UU 7/2017 telah mengatur terkait dengan Bawaslu kabupaten/kota yang bersifat tetap dan tata cara pengangkatan dan pemberhentiannya, serta tugas dan wewenangnya.

Namun terkait dengan penyelenggaraan Pilkada, UU 10/2016 masih mengakui Panwas kabupaten/kota, sehingga dengan adanya UU 7/2017 yang mengakui Bawaslu kabupaten/kota, dengan serta merta Panwas kabupaten/kota dianggap tidak ada. Bukan sesederhana itu dalam memaknai regulasi dalam perspektif pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang memiliki dampak hukum.

Maka, bagaimana solusi yang harus diambil oleh Bawaslu RI dan Pemerintah terkait dengan polemik Bawaslu kabupaten/kota dan Panwas kabupaten/kota.
Pertama, mendorong DPR untuk melakukan revisi terbatas terhadap UU 10/2016, khususnya terkait dengan kelembagaan pengawas pemilihan.
Kedua, menunggu hasil judicial review di Mahkamah Konstitusi yang persidangannya masih berlangsung.