“Apakah mungkin pelaksanaan demokrasi melabrak ketentuan?”
Oleh : Tuji Tok
RAMAI-RAMAI bakal calon kepala desa (Bacakades) di Kabupaten Pasuruan menolak hasil uji akademis. Keinginannya itu kemudian dilanjutkan agar diloloskan menjadi calon Kades.
Ada 848 Bacakades ikuti uji akademis pada 11 Oktober lalu. Dari jumlah itu 94 di antaranya tak bisa melanjutkan langkah pencalonan.
Ya, gara-gara tes tulis itulah mereka gagal bertarung di ajang pemilihan Pilkades yang digelar serentak di Pasuruan.
Padahal, proses itu diperlukan sebagai cara penyaringan setelah dilakukan penjaringan pendaftar calon Kades.
Puluhan pendaftar itu gagal lantaran memiliki nilai di bawah standar; selain terjatuh, karena tak masuk lima besar untuk ditetapkan menjadi calon.
Penyaringan dilakukan juga didasarkan pada ketentuan jumlah calon, yang wajib minimal 2 dan maksimal 5 orang. Artinya, bila di suatu desa terdaftar lebih dari 5 pendaftar, maka dipastikan bakal ada yang terdepak.
Hanya saja, terungkap fakta, meski di satu desa terdapat pendaftar tak lebih dari lima, beberapa di antaranya ada yang tak lulus ujian, setelah dapat nilai di bawah standar.
Perkara nilai di bawah standar ini bisa dicontohkan pada Desa Ketangirejo, Kejayan. Di desa ini, terdapat 4 pendaftar yang kesemuanya memperoleh nilai buruk, sehingga dinyatakan tidak lulus. Karuan saja, Panitia Ketangirejo tak bisa menetapkan calon.
Padahal, bila saja diasumsikan ke-4 Bacakades itu dapat nilai cukup, maka kesemuanya dimungkinkan melanjutkan pertarungan di pemilihan pada 23 November nanti.
Melepas bahasan penyaringan, saat ini muncul permintaan dari bakal calon yang tak lolos, agar ditetapkan saja menjadi calon Kades.
Dalihnya cukup seragam, menganggap uji akademis dilakukan dengan cara-cara yang tak miliki ukuran jelas hingga ujian ini dipandang tak profesional.
Di luar perdebatan uji akademis, telaah coba diungkapkan, jika proses penyaringan itu boleh dibilang merupakan kesepakatan bareng-bareng untuk mendapatkan calon Kades yang lebih memiliki kualifikasi. Harapannya calon Kades terpilih, mendapat penilaian, bahwa benar-benar memiliki kemampuan.
Betul, soal kecakapan.
Bagaimana seorang kepala desa nantinya dapat memimpin ribuan warganya, bila kemampuan soal baca tulis saja tak dimiliki.
Atau barangkali, dengan klasifikasi –sebagaimana tahap penyaringan kali ini, lebih pada soal ingin menemukan calon-calon yang paham tentang tata kelola pemerintahan desa.
Pastinya banyak hal terkait kapabilitas calon itu diarahkan pada sisi “ngeman”, dilandaskan pada sepenuhnya untuk kepentingan warga.
Disadari, beberapa pihak coba abaikan klasifikasi dalam proses pencalonan itu. Tak kurang anggota dewan bahkan sempat menyebut, kemampuan seperti yang diinginkan tak berbanding lurus dengan kenyataan.
Sejumlah desa bisa saja batasan mampu itu lebih pada sisi kekuatan sosial seseorang, karena secara ketokohan lebih mendapatkan pengakuan, meski dari keahlian birokrasi -misalnya- tak dipunyai.
Sehingga bisa dipahami, saat ini ada upaya untuk abaikan proses penyaringan. Seakan ingin melepas aturan soal batasan jumlah paling sedikit 2 dan paling banyak 5 calon Kades.
Kalimatnya lebih pada ingin “membebas-liarkan” berapapun jumlah calon. Ada 11 calon sekaligus tak mengapa, asal hak politik pendaftar itu diberikan, dibebaskan.
Masalahnya, soal batasan calon sudah diaturkan sebelumnya. Dari batasan itu, kemudian diputuskan untuk disaring dengan satu caranya berupa uji akademis.
Pertanyaannya, apakah mungkin pelaksanaan demokrasi melabrak ketentuan?
Harus diakui, hak politik memilih dan dipilih harus mendapatkan penghormatan tinggi.
Pihak manapun, siapapun tidak boleh menghambatnya.