Bisa jadi kehadiran calon perseorangan hanya pelengkap, agar pemilihan Bupati atau Wali Kota tidak hanya satu calon.
Oleh : Sri Sugeng Pujiatmiko, S.H.
SYARAT dukungan bagi calon perseorangan masih dalam proses Judicial Review, karena merasa berat untuk memenuhinya.
Bagi yang akan menyatakan dirinya maju sebagai calon perseorangan harus menyiapkan sejumlah syarat dukungan sesuai dengan yang ditentukan.
Berapakah jumlah syarat dukungan yang harus dipenuhi untuk dapat lolos menjadi calon perseorangan?
Memang dalam penyelenggaraan Pilkada yang telah dilaksanakan, bagi calon perseorangan yang secara “sungguh-sungguh” memberanikan dirinya untuk mencalonkan sebagai calon Gubernur, Bupati atau Wali Kota harus diapresiasi sebagai hak warga Negara untuk dipilih yang dilindungi oleh konstitusi.
Namun, ada juga munculnya calon perseorangan hanya sebagai “pelengkap pendamping” petahana atau calon yang diusulkan oleh Partai Politik untuk “sama-sama” melawan calon lain.
Atau kehadiran calon perseorangan hanya untuk memenuhi agar pemilihan Bupati atau Wali Kota tidak hanya 1 (satu) calon atau calon tunggal.
Ada kalanya calon perseorangan diposisikan hanya untuk “memecah suara” terhadap calon lain sebagai competitor yang diusulkan partai politik, sehingga perlu memposisikan calon perseorangan yang kehadirannya “membantu” salah satu calon untuk memenangkan pemilihan.
Banyak cara dilakukan oleh calon dan partai politik yang memposisikan calon perseorangan sebagai “pelengkap pendamping”, namun juga ada calon perseorangan yang benar-benar menyatakan dirinya ikut berkompetisi dalam Pilkada.
Nah, dalam penyelenggaraan Pilkada tahun 2020 sudah ada geliat munculnya calon perseorangan.
Apakah calon perseorangan tersebut benar-benar menjadi calon perseorangan yang sesungguhnya ataukah hanya sebagai calon perseorangan yang hanya untuk meraih “nilai tawar” bagi calon yang diusulkan oleh partai politik.
Posisi tawar calon yang sudah menyatakan akan maju sebagai calon perseorangan, bisa saja hanya semata-mata untuk kepentingan pribadi selain kepentingan Pilkada.
Terkadang kondisi itu tidak dapat terhindarkan. Meskipun “calon perseorangan” yang diposisikan sebagai “pelengkap pendamping” oleh calon lain benar-benar mendaftarkan ke KPU kabupaten/kota.
Bagaimana dengan “biaya” yang dikeluarkan untuk memperoleh jumlah minimum syarat dukungan sesuai?
Sudah barang tentu seluruh pengeluarannya akan dibiayai oleh calon atau partai politik yang “menjadikannya” calon perseorangan.
Ada kalanya biaya yang telah dikeluarkan tidak semata-mata berasal dari calon atau partai politik yang menjadikan calon perseorangan. Namun kalkulasi “biaya” yang dikeluarkan oleh “calon perseorangan” sebagai “pelengkap pendamping” akan dibebankan “pemilik modal” yang berafiliasi kepada salah satu calon yang memposisikan calon perseorangan sebagai “pelengkap pendamping”.
Hal seperti itu, tidak bisa kita pungkiri, selama ada peluang pasti akan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik praktis yang tidak sejalan dengan semangat dibukanya ruang calon perseorangan untuk memberikan hak konstitusi (hak untuk dipilih), bagi masyarakat yang tidak terfasilitasi oleh partai politik untuk menjadi calon Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Lumrahnya, dalam penyelenggaraan Pilkada, calon perseorangan nyaris sulit untuk meraih suara, apalagi memenangkan kompetisi Pilkada, karena banyak faktor.
Dalam pengalaman penyelenggaraan Pilkada, paling tidak sudah 4 (empat) calon perseorangan yang memenangkan Pilkada dan terpilih menjadi Bupati atau Wali Kota.
Antara lain : Gubernur Aceh, Kabupaten Rote Ndou, Kabupaten Batubara, dan Kabupaten Garut.