Menangkap Batu yang Dilempar Pelajar saat Unjuk Rasa

6514

Semua mahfum, para ahli acapkali menjelaskan, kekerasan dapat berdampak buruk bagi anak. Memori kekerasan yang dialami atau dilihat semasa anak-anak tak lekang waktu.

Rekaman kekerasan bisa mungkin seperti mengajarkan pada anak untuk seakan-akan boleh melakukan kekerasan serupa, kelak di usia dewasa.

Patut juga dicatat. Kekerasan pada anak cukup beragam, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan seksual, selain kekerasan psikologis.

Belum lagi pada kekerasan verbal, eksploitasi, penjualan anak, bahkan penelantaran (abai) terhadap kesejahteraannya.

Kekerasan verbal –menurut hemat kita-, setidaknya dilihat atau malah dialami oleh anak-anak pengunjuk rasa.

Itu jika tinjauannya pada kasus kekerasan, seperti tergambar pada batu sebesar bola voli yang dilemparkan ke polisi. ke halaman 2

Baca Juga :   Demo di Gedung Dewan Probolinggo Memanas, Reda dengan Asmaul Husna

Hal lain adalah soal materi unjuk rasa yang digaungkan, yakni menolak pengesahan RUU, terutama Rancangan KUHP.

Mengulang kalimat, aksi unjuk rasa tidak hanya bisa dilakukan mahasiswa, karena pelajar sekalipun katanya boleh.

Memang, sangat mungkin muncul perdebatan terkait boleh atau tidak boleh, untuk aksi dimaksud.

Faktanya, DPR RI bersama presiden telah bersepakat untuk menunda penetapan sejumlah RUU yang menjadi isu unjuk rasa.

Pertanyaannya.
Apa sih yang dimaui pelajar?
Atau, apa yang ingin ditampilkan?
Memang pelajar itu tergerak sendiri?
Apakah pelajar memiliki pemahaman dan kesadaran ada ketidakberesan pada RUU yang akan ditetapkan itu?
etc.

Jawabannya.
Tidak ada yang perlu ditunjukkan mereka.
Pastinya, pelajar masih kudu mempelajari hal-hal yang bersifat dasar, patut lanjutkan cara “membaca dan berhitung”. Sederhana.

Baca Juga :   Kenapa Harus Villa di Songgoriti?

Di sisi lain, tiba-tiba mengemuka ada “pelajar palsu” dan “pelajar bayaran” dalam aksi itu. Tapi untuk sementara, hal itu tak ingin disoal, meski sebenarnya cukup penting untuk diurai.

Baiklah. Atas nama HAM, Komnas HAM telah gelorakan HAM.
Makanya, atas nama HAM, saya juga ingin menggugat, selamatkan HAM anak-anak.

Karena, keberadaan dan hak dasar anak-anak untuk lanjutkan hidup penuh damai hingga dewasa, menjadi kewajiban bersama. Kewajiban semua untuk menghantarkannya.

Jangan sampai hanya soal ingin beda, lantaran tak sehaluan dan sealiran, kemudian membolak-balik logika, hingga mengancam kehidupan dan masa depan anak-anak.

Indonesia. Jaya! (*) ke halaman awal