Tantangan Penganggur Terdidik di Kota Pasuruan

1155
“Tingkat pendidikan tinggi belum cukup memberikan jaminan seseorang dapat mengisi kesempatan kerja yang ditawarkan.”

Oleh : Sri Kadarwati

SECARA awam kata atau istilah pengangguran sering dimaknai sebagai ketidakmampuan seseorang dalam mendapatkan pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri, pegawai swasta di pabrik/perusahaan atau wiraswasta/entrepreneur  yang “mapan”.

Sedangkan konsep Labor Force yang dikeluarkan PBB memaknai pengangguran untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, seseorang sedang mencari kerja, seseorang bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak.

Jika mengacu pada konsep di atas, maka istilah penganggur terdidik menunjukkan banyaknya orang yang berpendidikan tinggi (Tamat SLTA ke atas) yang belum mendapatkan pekerjaan tetap sebagai pegawai atau pengusaha.

Data statistik pengangguran yang dipublis oleh Dinas atau Badan Statistik yang menghitung indikator Ketenagakerjaan seringkali dianggap terlalu kecil angkanya dibandingkan realitas menurut pandangan awam.

Hal ini disebabkan adanya perbedaan persepsi antara Istilah Pengangguran atau unemployment dalam pengertian awam dengan definisi Baku Internasional yang dikeluarkan PBB.

Secara teori, angka pengangguran disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau jumlah pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Persoalan yang sering terjadi adalah ketidak sesuaian antara kualitas sumber daya manusia dengan ketersediaan lapangan kerja.

Di era teknologi yang semakin berkembang, kompetensi dalam pasar kerja menjadi suatu kebutuhan mutlak. Hal ini menjadi salah satu tantangan bagi masyarakat dan dunia pendidikan dalam mencetak sumber daya manusia yang siap memasuki pasar kerja dan mampu bersaing dalam pasar kerja.

Kualitas angkatan kerja yang diukur dari tingkat pendidikannya, menunjukkan angkatan kerja di Kota Pasuruan sebagian besar berpendidikan SLTA ke atas yaitu sekitar 56,43 persen, sedangkan 43,57 persen adalah berpendidikan SLTP ke bawah.

Dari hasil pengamatan terhadap perkembangan data ketenagakerjaan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tinggi belum cukup memberikan jaminan seseorang dapat mengisi  kesempatan kerja yang ditawarkan. Karena lapangan kerja yang ditawarkan tidak hanya mensyaratkan pendidikan formal (ijazah) tetapi memperhatikan ketrampilan kerja yang dimiliki para pekerja.

Dari data hasil Survei angkatan kerja nasional (Sakernas 2018) yang dihasilkan oleh BPS, tercatat bahwa dari 99.297 orang angkatan kerja di Kota Pasuruan terdapat 4.55 Persen yang belum terserap dalam lapangan pekerjaan atau disebut dengan penganggur terbuka.

Jika dilihat berdasarkan sebaran tingkat pendidikan angkatan kerja, persentase terbanyak dari angkatan kerja yang berstatus penganggur adalah mereka yang tamat pendidikan SMK/SMA (7,34 persen) dan mereka yang tamat pendidikan Universitas (5,09 persen).

Dibandingkan  tahun sebelumnya, persentase pengangguran pada pendidikan SLTA sekitar 6,6 persen dan untuk tamatan perguruan tinggi sekitar 3,04 persen, yang berarti bahwa tingkat pengangguran pada pendidikan SLTA ke atas mengalami peningkatan.

Sebaliknya tingkat pengangguran pada pendidikan rendah (SMP ke bawah) mengalami penurunan dari sekitar 2,85 persen menjadi kurang dari 2 persen.

Deretan angka-angka tersebut tentunya menimbulkan tanda tanya besar bagi pemerintah, para pengamat pendidikan, maupun masyarakat tentang bagaiman kualitas para lulusan pendidikan tinggi di Indonesia?

Menurut Educational Psychologist dari Integrity Development Flexibility (IDF), Irene Guntur, dalam penelitian Persepsi Mahasiswa Terhadap Jurusan Perguruan Tinggi dan Konsep Diri (Anfusina, Volume 1, No. 1, Tahun 2018 hal. 63), menyatakan sebanyak 87 persen mahasiswa di Indonesia salah jurusan.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.