Situasi Jakarta benar-benar mencekam pasca insiden penculikan dan pembunuhan enam perwira tinggi militer nasional. Hari-hari belakangan, Soeharto lebih banyak tertutup.
Laporan M. Asad
TINGGAL serumah membuat Probosutedjo memahami betul ketegangan yang dirasakan Soeharto.
Melalui memoarnya berjudul ‘Saya dan Mas Harto’, Probosutedjo yang merupakan adik kandung Soeharto ini menceritakan apa yang dilakukan sang kakak setelah insiden penculikan keenam jenderal itu.
“Mas Harto sangat tegang dan tertutup selama hari-hari setelah insiden G 30 S PKI itu,” kata Probosutedjo, sebagaimana ditulis Albertheine Endah.
“Saya memiliki gambaran yang lebih autentik tentang apa yang dirasakan Mas Harto,” sambungnya.
Menurut Probosutedjo, setelah insiden penculikan itu, Soeharto bergerak cepat dengan mengendalikan komando dari pangkalan Kostrad. Soeharto juga disebutkannya mengambil-alih kepemimpinan komando setelah Jenderal Ahmad Yani yang kala itu menjabat Kepala Staff Angkatan Darat (KSAD) diculik.
Keputusan itu diambil Soeharto karena sebelumnya, ia acapkali ditunjuk A. Yani menghadiri kegiatan ketika ia berhalangan hadir.
Karena itu, demi mengisi kekosongan kepemimpinan di KSAD, Soeharto kemudian memberanikan diri untuk mengambil-alih tongkat komando.
Lalu, apa yang dilakukan Soeharto setelah itu?
Probosutedjo menuturkan, hal pertama yang dilakukan kakaknya adalah ‘memblokir’ pasukan Untung yang hendak masuk ke Jakarta.
Untung sendiri, kata Probosutedjo, sudah ditandai Soeharto sebagai pihak yang mengajarkan paham PKI di tubuh militer.
Karena itu, sesaat setelah insiden penculikan itu, Letkol Untung yang merupakan anggota pasukan Cakrabirawa –pasukan pengawal presiden- menggerakkan militer dari Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk masuk ke Jakarta. Itu berlangsung tanggal 1 Oktober 1965.
Sebelum pasukan kiriman itu tiba di Jakarta, Soeharto telah menyiagakan pasukannya untuk mengamankan Jakarta. “Begitu pasukan Untung tiba, mereka diminta istirahat dan makan siang. Dan, saat itulah, senjata mereka dilucuti sehingga tidak sampai terjadi pertumbahan darah,” kenang Probosutedjo.
Di Kostrad, Soeharto kemudian berkoordinasi dengan Letkol Ali Murtopo dan Brigjend Sabirin. Mereka lantas mengumpulkan beberapa pejabat KSAD guna membahas perkembangan situasi.
Tampak di antara mereka, Kolonel Yogasugama, Kolonel Wahono, Kolonel Hartono, dan Brigjend Ahmad Wiranatakusumah, selaku kepala staff Kostrad.
Saat itu, Soeharto juga menghubungi Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, komandan RPKAD, yang tiba di markas Kostrad tak lama kemudian.
Kepada Sarwo Edhi, Soeharto memintanya untuk merebut kembali gedung RRI dan Telkom yang saat itu sudah diduduki PKI.
Baca: Dibalik G-30 S : Keluarga Soeharto Mengungsi (2)
Permintaan itu disanggupi oleh Sarwo Edhi. Dalam waktu yang tak begitu lama, dua fasilitas milik negara itu berhasil kembali direbut. Keberhasilan itu sekaligus menjadi awal kerjasama Soeharto dan Sarwo Edhi dalam memburu orang-orang PKI. (bersambung)