Tepat 54 tahun lalu, usaha pemberontakan -disebut- dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan menculik 7 petinggi militer. Insiden yang sudah lewat dari setengah abad lebih itu pun masih menyisakan sejumlah cerita.
Laporan M. Asad
SALAH satu yang masih menjadi pertanyaan publik adalah ihwal keberadaan jenderal Soeharto kala itu.
Banyak di antaranya masyarakat Indonesia yang kemudian bertanya, apa yang dilakukan Soeharto pada detik-detik menjelang atau sesudah tragedi itu berlangsung?
Adik Soeharto, Probosutedjo memberikan ceritanya.
Dalam memoarnya yang ditulis Alberthiende Endah dengan judul ‘Saya dan Mas Harto’, Probosutedjo yang merupakan saudara –seibu beda bapak-’ ini banyak membeberkan aktivitas sang kakak pada seputar insiden berdarah itu.
Dikatakan Probosutedjo, malam itu, Soeharto tengah berada di RSPAD untuk menunggui putranya, Tommy usai tersiram sup panas.
“Mas Harto baru pulang pukul empat dini hari, tanggal 1 Oktober,” katanya, seperti yang tertulis dalam memoarnya.
Saat itu, kediaman Soeharto berada di Jalan Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat.
Insiden itu sendiri bermula dari Siti Hartinah memasak sup daging menjangan yang diberi Bob Hasan di dapur, 27 September 1965.
Hutomo Mandala Putra alias Tommy yang kala itu berusia empat tahun bermain dengan adiknya, Siti Hutami Endang Adiningsih alias Mamik.
Tommy memang begitu menyayangi adik bungsunya yang kala itu berusia dua tahun.
Saat bermain, keduanya berlari-larian kecil hingga ke dapur. Rupanya, Ibu Tien yang saat itu mengangkat sup daging menjangan tidak menyadari kehadiran dua buah hatinya yang tengah bermain itu.
Sampai kemudian, panci berisi sup panas itu pun tumpah dan mengenai sekujur tubuh Tommy.
Untung saja jalanan Jakarta saat itu belum macet betul. Tommy kemudian menjalani perawatan di ruang ICU RSPAD. Sejak saat itu, hari-hari Ibu Tien lebih banyak di rumah sakit bersama suaminya, Soeharto kala itu.
Sampai pada malam tragedi penculikan jenderal oleh PKI, Soeharto juga disebutkan Probosutejdo ada di sana.
Probosutejo ingat betul, malam itu, Soeharto sempat menggerutu lantaran melihat Kolonel Lathif mondar-mandir di rumah sakit.
Sebab, Soeharto yakin betul, bahwa Lathif merupakan anggota PKI.
Saat berpapasan dengan Soeharto, Lathif sempat menanyakan kondisi Tommy dan menunjukkan sikap seolah bersimpati dengan apa yang menimpa Tommy.
“Di kemudian hari, Mas Harto mengetahui, bahwa malam itu, Lathif sebelumnya mengintai Mas Harto. Dan itu adalah malam menjelang pembantaian sadis itu. Apakah Mas Harto sebetulnya juga masuk salah satu target? Wallahualam,” kenang Probosutedjo dalam memoarnya.
Siang sehari sebelum Tommy terkena tumpahan sup, Lathif yang kala itu menjabat Asisten Intel Kodam V Jaya sempat menemui Soeharto di kediamannya di Jalan Agus Salim.
Cukup lama keduanya berbincang. Bahkan, saking lamanya, acara makan siang Soeharto dan keluarga pun harus tertunda cukup lama.
Merasa tak biasanya, Probosutedjo sempat menanyakan hal apa yang membuat Lathif begitu lama ngobrol.
“Dia tanya soal Dewan Jenderal. Saya bilang tidak ada namanya Dewan Jenderal itu. Yang ada hanya Wanjakti, dewan yang fungsinya menilai, mengamati dan memutuskan perwira-perwira yang bisa diloloskan ke tingkat jenderal,” jelas Soeharto, seperti diceritakan Probosutedjo.
Kala itu, raut wajah Soeharto terlihat tak enak. Materi pertanyaan yang disampaikan Lathif membuatnya dongkol. “Saya tahu, Mas Harto sebetulnya malas bertemu dengan Lathif karena mencurigainya sebagai aktivis PKI,” terang Probosutedjo. (bersambung)