Pasuruan (wartabromo.com) – Remaja asal Bangil didapuk menjadi narasumber pada acara talkshow Kick Andy beberapa waktu lalu. Mereka dianggap berhasil menyuarakan isu pernikahan anak yang terjadi di Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan ke dalam sebuah film dokumenter.
Putri Novita Firdaus (22) bersama dua kawannya, yakni Novita dan Aini adalah tiga sosok perempuan muda tangguh di balik suksesnya film tersebut. Sebenarnya, film ini merupakan garapan mereka sejak 2014 lalu saat mereka masih bersekolah di MAN 1 Bangil.
Sejak bergabung di ekstrakurikuler jurnalistik, mereka aktif menyuarakan isu tentang kemanusiaan dan HAM. Hingga pada suatu saat, mereka memutuskan untuk mengikuti sebuah kompetisi film Eagle Junior Documentary Camp.
Film dokumenter bercerita mengenai fenomena pernikahan dini bahkan kawin kontrak yang terjadi di Desa Orobulu, Kecamatan Rembang tersebut berjudul Kembang Deso.
“Kita tahu bahwa Pasuruan juga terkenal dengan kembang-kembangnya yang cantik. Namun di balik itu, tidak ada yang tahu sebenarnya kecantikan itu hanya ilusi. Bahkan masih banyak gadis desa yang seakan hilang kecantikan dan keceriannya karena terenggut oleh perkawinan dini,” ujar Putri kepada Wartabromo menceritakan filosofi judul film Kembang Deso produksinya.
Sebagai produser film Kembang Deso, Putri mengaku mulai dari riset hingga proses kreatifnya, sangat menguras tenaga dan pikirannya. Bahkan ia sempat di-bully gara-gara mengangkat kisah nyata dari sebuah desa yang masih dianggap tabu untuk diperbincangkan.
“Banyak yang menentang karena saya dianggap mengangkat borok salah satu kecamatan di Pasuruan. Mereka anggap itu aib yang harus ditutupi bukan malah diangkat menjadi film,” tandas perempuan yang saat ini berkuliah di UMM ini.
Ia mengaku sangat prihatin melihat fenomena pernikahan anak yang masih marak di lingkungan sekitarnya. Sebagai perempuan, Putri merasa jiwanya terpanggil untuk berjuang memberantas pernikahan usia anak.
Film Kembang Deso bercerita tentang seorang remaja dari Desa Oro-Oro Bulu, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan bernama Emy.
Ia dipaksa menikah oleh keluarganya hanya karena masalah ekonomi yang menghimpitnya. Padahal Emy bercita-cita untuk menuntut ilmu di sekolah formal sama seperti remaja pada umumnya. Namun keceriaannya terenggut lantaran harus membangun rumah tangga di usianya yang masih sangat belia.
“Melalui film ini kami ingin menyampaikan, stop pernikahan usia anak. Menikahkan anak karena kesulitan ekonomi bukanlah solusi. Anak-anak punya hak untuk bermain dan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi bukannya malah dipaksa untuk menikah dan merawat anak,” pungkas Putri. (ptr/ono)