“Sakit tapi tak berdarah, mungkin itu yang dirasakan oleh para mahasiswa yang sudah ikut turun ke jalan ketika mendengar tuduhan keji itu.”
Oleh : Fittriyah (*)
Seminggu ini, media sosial diramaikan dengan tagar #kosongkankelas kita turun ke jalan. Sebuah kalimat yang sederhana, tetapi dapat menggerakan hati nurani yang membaca, khususnya para mahasiswa.
Tidak heran, hampir di seluruh wilayah Indonesia, mahasiswa turun ke jalan melakukan demonstrasi. Termasuk juga mahasiswa di Pasuruan. Mereka bergerak turun ke jalan bukan hanya karena tagar sederhana tersebut. Tetapi, mereka sudah jengah dengan perilaku wakil rakyat dan pemimpinnya yang abai terhadap aspirasi rakyatnya.
Permasalahan yang dialami bangsa ini membuat masyarakat resah. Rancangan Undang-Undang KPK (RUU KPK) yang secara substansi melemahkan lembaga KPK dalam pemberantasan korupsi tiba-tiba disahkan menjadi undang-undang.
RUU KUHP yang di dalamnya bertebaran pasal kontroversial juga akan disahkan. Beberapa pasal yang digugat misalnya seperti pasal 278 RUU KUHP. Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi atau tanaman milik orang lain bisa dihukum denda maksimal Rp 10 juta.
Melihat pasal itu, kita mungkin agak tergelitik dan berimajinasi bagaimana cara pemelihara unggas, memahamkan para unggas untuk tidak keluar dari kandang atau pekarangan empunya. Sedangkan, unggas sendiri tidak mungkin paham apa yang kita bicarakan.
Sudah banyak gambar meme beredar di dunia maya yang merespon salah satu klausul ketentuan mengenai tingkah ayam ini. Beberapa pasal kontroversial di RUU KUHP dan RUU lain yang akan disahkan maupun yang sudah disahkan, mendorong mahasiswa menggelar parlemen jalanan.
Aksi mereka semata-mata untuk melakukan protes atas pembuatan undang-undang tersebut. Dan, tentunya untuk menyadarkan para anggota DPR bahwa mereka telah abai terhadap kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Tugas mahasiswa adalah sebagai agen perubahan. Saya masih ingat ketika mengikuti pembekalan mahasiswa baru di kampus. Seorang dosen mengatakan bahwa mahasiswa adalah agent of change. Artinya, mahasiswa memiliki peran yang penting dalam perubahan suatu bangsa.
Sebagai agen perubahan, mahasiswa juga mempunyai tugas sebagai pengabdi di masyarakat, seperti yang sudah tercantum pada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tugas ini cukuplah berat karena masa depan bangsa tergantung pada generasi mudanya. Seperti yang pernah dikatakan Presiden Soekarno; “berilah aku 10 pemuda, maka akan ku goncang dunia.”
Sedikit flash back di masa lalu, orde reformasi bangsa ini terjadi karena kesadaran para mahasiswanya. Mereka sadar bahwa pemerintah orde baru sudah terlalu lama melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta bertindak otoriter.
Banyak terjadi ketidakadilan pada rakyatnya. Melihat kelakuan penguasa yang sewenang-wenang, maka terbentuk kesadaran kolektif yang kemudian menggerakan para mahasiswa untuk melakukan protes terhadap rezim penguasa. Hingga akhirnya masa reformasi pun hadir setelah diperjuangkan dengan penuh darah dan air mata. Hal ini sudah jelas membuktikan bahwa mahasiswa memiliki peran penting dalam perubahan suatu bangsa.
Kondisi peristiwa 98, mungkin jauh berbeda dengan gerakan sekarang. Jika dulu menuntut penguasa untuk mengakhiri dominasi dan hegemoninya dalam pemerintahan, sekarang tidak begitu. Mahasiswa hanya menuntut agar pembuatan undang-undang dikoreksi karena rakyat akan terkena dampak merugikan dari pemberlakuan undang-undang tersebut.