“Bahwa Presiden menyetujui pembahasan revisi UU KPK (sepatutnya) bukan karena tekanan publik atau tekanan politik.”
Oleh : Sri Sugeng Pujiatmiko*
SAYA tidak dalam kapasitas menyatakan setuju atau tidak setuju, terkait revisi UU KPK yang disetujui oleh presiden melalui suratnya nomor : R-42/Pres/09/2019 tanggal 11 September 2019.
Karena, yang lebih penting bagi kita adalah mendudukkan kembali posisi KPK sebagaimana sejarah pembentukannya.
KPK dibentuk dalam rangka pemberantasan korupsi karena penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) dinilai tidak mampu untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Sesungguhnya pemberantasan korupsi dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu pencegahan dan penindakan.
Nah, KPK saat ini lebih mengedepankan penindakan dari pada pencegahan, dengan mendalihkan “OTT” sebagai upaya pemberantasan korupsi.
Maka segala sesuatu yang terkait dengan proses penindakan harus ada regulasi yang mendasarinya, dengan ketentuan setingkat undang-undang tentunya.
Oleh karenanya, revisi UU KPK sesungguhnya ingin menempatkan kualifikasi penindakan yang dilakukan oleh KPK berdasarkan pada undang-undang dan tidak diatur dalam SOP (terkait dengan tindakan penyadapan, misalnya).
Bahwa presiden menyetujui pembahasan revisi UU KPK (sepatutnya) bukan karena tekanan publik atau tekanan politik.
Perubahan UU adalah sesuatu hal yang biasa dilakukan, karena dalam implementasinya dinilai tidak sejalan dengan tata cara, mekanisme, dan prosedur yang seharusnya.
Tata cara yang seharusnya terkait penindakan itu dimaksud adalah dijalankan sesuai dengan asas, norma, dan kaidah hukum. Maka, sudah barang tentu revisi UU KPK sepatutnya untuk dilakukan.
Pembahasan revisi UU KPK harus melibatkan stakeholder yang terkait, untuk mendapatkan masukan demi kebaikan perjalanan KPK dalam pemberantasan korupsi.
Persetujuan Presiden berkenaan dengan revisi UU KPK belum bisa disebut sebagai pelemahan KPK. Namun, revisi UU KPK harus dimaknai memperjelas kapasitas KPK dalam menjalankan permberantasan korupsi di Indonesia.
Kita harus berpandangan, bahwa revisi UU KPK untuk perbaikan tatanan hukum yang senafas dengan penegakan hukum selama ini telah dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.
Dipandang dari criminal justice system, sedianya telah ada lembaga-lembaga yang menangani tindak pidana korupsi, bisa polisi dan kejaksaan.
Sehingga revisi UU KPK harus bertujuan untuk sinergitas dalam penegakan hukum, khususnya korupsi.
KPK ditempatkan pada posisi pemberantasan dengan skala besar di atas Rp1 Miliar, sedangkan di bawah itu dapat ditangani kepolisian dan kejaksaan. Meskipun tidak menutup kemungkinan korupsi skala besar, kepolisian dan kejaksaan berwenang untuk menanganinya.
Namun dalam praktiknya korupsi skala kecil dibawah Rp1 M pun KPK tetap menanganinya.
Sinergitas koordinasi sebenarnya telah dilakukan oleh kejaksaan ketika menangani perkara korupsi, di antaranya berupa SPDP-nya ditembuskan ke KPK agar ada monitoring terkait dengan penanganan perkaranya. Hal itu juga bisa dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganannya.
Pesan yang ingin disampaikan adalah, Revisi UU KPK harus dapat mewarnai untuk penataan tatanan hukum agar semua penegak hukum selaras dalam standar penanganan perkara korupsi. (*)
*) Penulis adalah Praktisi hukum.