Negeri ini memang baru menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Tapi, tahukah jika lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ sudah lama diperdengarkan jauh sebelum itu?
Laporan Moch. Asad
ADALAH Wage Rudolf Supratman, komposer lagu Indonesia Raya kala itu yang kemudian unjuk gigi memperdengarkan lagu ciptaannya untuk kali pertama di hadapan publik. Momentum itu terjadi jelang berakhirnya konggres pemuda kedua, 28 Oktober 1928. Atau, 17 tahun sebelum Indonesia merdeka.
Berlokasi di gedung Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jalan Kramat 106 Jakarta kala itu, lagu tersebut dibawakan tanpa lirik. Melainkan hanya musik instrumental lantaran banyaknya militer dan intilejen Belanda yang berseliweran di sekitar lokasi konggres kala itu.
Mengikuti saran Soegondho Djojopoespitoe, WR Supratman dengan piawai memainkan biolanya mengikuti tangga nada lagu kebangsaan yang ia ciptakan. Sementara ratusan pemuda dari berbagai kelompok dan suku bangsa dengan khidmat menyimak.
“Jadi itu pertama kalinya lagu Indonesia Raya diperdengarkan dengan menggunakan biola. Karena kalau pake liriknya, khawatir ditangkap. Kan waktu itu banyak intel-intel Belanda di sekitar lokasi konggres,” terang pemandu Museum Sumpah Pemuda, Bakti Ari di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kendati baru diperdengarkan secara umum pada saat sidang Konggres Pemuda Kedua, lagu kebangsaan itu sejatinya sudah direkam setahun sebelumnya. Proses rekaman dilakukan di perusahaan rekaman milik Yo Kiem Tjan, NV. Populair pada 1927.
WR Supratman dan Yo Kiem Tjan memang sudah bersahabat sejak lama. Sesekali, Supratman bahkan disebutkan ikut bergabung di grup orkes milik Yo Kiem Tjan itu. Kedekatan hubungan emosional itu pula yang kemudian dimanfaatkan untuk merekam lagu Indonesia Raya saat perusahaan rekaman lain tidak ada yang berani.
Lagu Indonesia Raya memiliki dua versi. Versi pertama dinyanyikan Supratman dengan iringan musik biola. Sedangkan versi kedua, dibuat dengan genre keroncong. Dua-duanya direkam di kediaman Yo Kiem Tjan dengan sokongan teknisi asal Jerman.
Oleh Yo Kiem Tjan, master hasil rekaman ia simpan. Sedangkan versi keroncong, dikirim ke Inggris untuk diperbanyak. “Pemerintah Belanda yang mengetahui hal itu panik dan menyita piringan hitam yang banyak beredar di masyarakat,” kata Bakti Ari.
Satu-satunya yang masih tersisa adalah piringan hitam asli versi keroncong. Saat ini, benda bersejarah itu tersimpan rapi di Museum Sumpah Pemuda dan masih bisa diperdengarkan hingga kini. (*)