Pada akhirnya diharapkan setiap lembaga pendidikan pada jenjang TK hingga SLTA secara bertahap harus melakukan pembenahan internal untuk mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi siswa.
Oleh : Sri Kadarwati
SETIAP menjelang bulan Juli hampir semua orang tua disibukkan dengan aktivitas berburu sekolah maupun Perguruan Tinggi untuk buah hatinya. Tahun 2019 merupakan tahun pertama peraturan Mendikbud nomor 20 tahun 2019 tentang system zonasi diberlakukan. Paradigma baru yang disiapkan pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memeratakan akses pendidikan bagi masyarakat secara luas.
Tentunya sistem zonasi ini masih belum dikatakan sempurna dalam tahap pemberlakuannya. Karena mungkin masih dirasakan kurang dalam sosialisasinya kepada masyarakat, sehingga masih menyisakan berbagai hal seperti masih adanya kecenderungan memilih sekolah yang “favorit” dan “kurang favorit”.
Istilah sekolah favorit dan kurang favorit di suatu wilayah biasanya diciptakan oleh masyarakat sendiri. Yaitu dengan memperhatikan kondisi fisik bangunan (sarana/prasarana sekolah) dan lingkungan yang ekslusif, strata ekonomi menengah ke atas dari orang tua siswa, bahkan kualitas pengajar yang dianggap lebih professional dalam mengajar atau mendidik.
Dari hasil penerapan sistem zonasi di tahun 2019, ke depan Pemerintah pasti akan melakukan evaluasi dan perbaikan yang mampu mengakomodir masukan masyarakat dan para pemerhati pendidikan nasional.
Pada akhirnya diharapkan setiap lembaga pendidikan pada jenjang TK hingga SLTA secara bertahap harus melakukan pembenahan internal untuk mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi siswa. Sehingga mampu memberikan kepuasan dan ketenangan bagi para orang tua untuk menyekolahkan putra/putrinya nya pada lembaga pendidikan sesuai zonasi yang ditentukan pemerintah. Pada akhirnya akan memberikan dampak positif terhadap capaian dan rata-rata harapan pendidikan formal masyarakat.
Seiring dengan reformasi yang terus diupayakan Pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia baik infrastruktur, sistem, program kurikulum maupun anggaran peningkatan SDM, perlu ditengok capaian pendidikan masyarakat selama lima tahun terakhir.
Capaian pendidikan tersebut dapat dilihat dari salah satu komponen pembentuk IPM (Indeks Pembangunan Manusia), yaitu komponen pengetahuan. Dimensi pengetahuan pada IPM dibangun oleh dua indikator yaitu Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Rata-rata Lama Sekolah (R LS) merupakan rata- rata lamanya (tahun) penduduk usia 25 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal, sedangkan Harapan Lama Sekolah (HLS) adalah lamanya (tahun) sekolah formal yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang.
IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk), yang dibangun melalui pendekatan 3 dimensi dasar yang meliputi umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standard hidup layak (decent standard of living).
Berdasarkan hasil penghitungan IPM tahun 2010 – 2018 yang dipublih BPS RI dalam Berita Resmi Statistik pada 15 April 2019, angka IPM Nasional berhasil meningkat karena 3 dimensi yang menjadi tolok ukur indeks tersebut mengalami peningkatan pencapaian.
IPM Indonesia meningkat dari 66,53 pada tahun 2010 menjadi 71,39 pada tahun 2018. Selama periode tersebut, IPM Indonesia rata-rata tumbuh sebesar 0,88 persen per tahun dan meningkat dari level sedang menjadi tinggi mulai tahun 2016. Adapun pada periode 2017 – 2018, IPM Indonesia tumbuh 0,82 persen, yakni dari 70,81 menjadi 71,39. Peningkatan capaian IPM selama periode 2010 – 2018, didorong oleh kenaikan setiap komponen pembentuk IPM.