“Terima kasih Pak, saya naik MRT. Luar biasa,” kata Prabowo.
Oleh Tuji
MRT. Moda Raya Terpadu itu tiba-tiba jadi perbincangan, ditulis media massa, tak terkecuali lini masa media sosial. Tak lain dan tak bukan, gara-gara Jokowi dan Prabowo bertemu.
Ketemunya mereka ini jujur saja bikin semua kepo. Ada apa? kok bisa? dan lain seterusnya.
Pertemuan itu di Stasiun Lebak Bulus. Dikesankan sebagai sahabat yang tetiba berpapasan di keramaian. Keduanya lalu bersalaman dan berpelukan, saling memuji.
sweet lah pokoknya.
Menikmati perjalanan, kedua figur yang sebelumnya terlibat perseteruan lantaran menjadi rival dalam Pilpres itu, kemudian turun dari kereta di stasiun Senayan.
“Bertemu di atas MRT. Ini juga gagasan beliau (Jokowi). Beliau tahu bahwa saya belum pernah naik MRT,”
“Terima kasih Pak, saya naik MRT. Luar biasa,”
“Ya kita bangga, Indonesia akhirnya punya MRT, yang membantu kepentingan rakyat,”
Itu patahan-patahan kalimat Prabowo yang keluar, usai bersama Jokowi menikmati MRT, kereta rel listrik. Ternyata, Prabowo baru kali pertama naik moda transportasi massal itu. Yang ngajak Jokowi lagi.
Ups, joke Pak.. hehehe…
Terkejut? Kaget?
Jawabannya sih, nggak.
Apa pasal? Karena pertemuan itu sudah banyak yang memperkirakan bakal terjadi. Hanya, masalah waktunya kapan, yang selama ini belum banyak yang mengungkap. Artinya, cepat atau lambat kedua tokoh ketemu, dilanjut berbincang masa depan Indonesia.
Nah, waktu terkait perkiraan itupun tiba. Pertemuan bersejarah pada Sabtu 13 Juli 2019. Hari ini.
Kalimat rekonsiliasi pasca pertempuran hebat di Pilpres kemarin kemudian santer didengungkan. Tak mau kalah, #03PersatuanIndonesia trending di Twitter.
Dalam statement keduanya seakan saling menjalin, lalu mengimbau masing-masing pendukungnya untuk menghentikan cibiran Cebong dan Kampret.
Semua tahu, polarisasi politik terjadi sejak Pilpres 2014 silam. Penyebutan Cebong untuk pendukung Jokowi dan Kampret untuk pecinta Prabowo, kala itu menyeruak, acapkali dijumpai pada papan komentar media sosial.
Kata Cebong-Kampret malah kian tersiar, mulai sebelum hingga selesai coblosan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun ini.
Sekadar me-refresh, Pemilu raya kemarin digelar 17 April 2019. Jokowi-Ma’ruf diputuskan sebagai jawara oleh KPU, setelah dikuatkan adanya penolakan tuntutan Prabowo-Sandi terhadap hasil pemilihan, oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
Mencoba mencatat proses di MK. Pada 27 Juni 2019 lalu seluruh gugatan tim hukum Prabowo ditolak oleh Majelis Konstitusi. Jumlah pandangan sembilan hakim utuh tanpa ada perbedaan (dissenting opinion).
Setidaknya ada 8 hal didalilkan Prabowo-Sandi dalam menggugat hasil Pilpres, yang disebutnya telah terjadi kecurangan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), dilakukan oleh Jokowi, sang petahana.
Jika dirangkum, kedelapan dalil yang ditolak MK itu adalah ajakan Jokowi berbaju putih; Dukungan kepala daerah pada Jokowi; Prabowo kehilangan 2.871 suara; lanjut banyak TPS siluman.
Ada lagi penolakan hakim terkait penghitungan suara versi Prabowo; dugaan pengaturan suara tidak sah; kemudian berkenaan dengan kesalahan Situng; sampai soal penggelembungan suara yang untungkan Jokowi.
Seperti ditulis di atas. Hakim Konstitusi menolak keseluruhannya.
Tapi, pasca putusan MK dan penetapan Jokowi-Ma’ruf sebagai Presiden-Wakil Presiden terpilih, suhu politik bukannya mereda, justru kian memanas.
Betapa tidak. Tim Prabowo tiba-tiba layangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). Apalagi kalau bukan gugatan Pemilu curang dilakukan secara TSM. Secara spesifik, tim Prabowo ajukan sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilu (PAP) ke Mahkamah Agung. Intinya kubu 02 itu ngeyel, keukeh pada pendiriannya, yang merasa harus membela kehormatan dan keadilan, karena merasa dicurangi.