Pihak rumah sakit sempat menjelaskan, bila tagihan itu untuk membayar biaya pemeriksaan kepala putrinya di laboratorium. Orang tua Attaya pun heran. Attaya tidak pernah menggunakan jasa laboratorium tapi ditagih pembayaran. Keluarga Attaya memutuskan tidak membayarnya. Orang tua Attaya pun pulang dan kembali ke rumah sakit keesokan harinya.
Kepada petugas adiministrasi, ia kembali menanyakan besarnya biaya tambahan yang harus ia bayar sehari sebelumnya itu. Oleh pihak rumah sakit, besaran biaya tambahan itu akhirnya berubah. Dari yang sebelumnya sebesar Rp 946 ribu, turun menjadi Rp 350 ribu. Konon, itu untuk membayar selisih kamar saat putrinya menjalani rawat inap.
Soal ini, orang tua Attaya bisa memakluminya lantaran kamar yang dicover BPJS hanya untuk kelas II. Sementara saat menjalani perawatan sebelumnya, ia sempat meminta naik ke ruang paviliun (VIP). Namun begitu, jika harus membayar sebesar angka pertama yang disodorkan pihak rumah sakit, ia akan tetap menolaknya. “Buktinya, setelah diprotes, akhirnya angkanya berubah,” jelasnya. ke halaman 2
Humas RSUD dr. Sudarsono Kota Pasurun, dr. Lusi menepis adanya dugaan markup dalam biaya perawatan pasien di rumah sakit. Terkait keluhan pasien sebagaimana bukti kuitansi atas nama Attaya, menurutnya hal itu karena kesalahpahaman. Ia bilang, kuitansi itu hanya bersifat sementara. “Sudah diselesaikan di bagian pengaduan. Sudah tidak ada masalah,” katanya.
Lalu bagaimana dengan besaran biaya dalam kuitansi yang berubah dari angka sebelumnya? Dari yang Rp 946 ribu menjadi Rp 350 ribu? Menurut dr. Lusi, hal itu terjadi karena ada perubahan diagnose. “Kalau tidak salah si pasien minta keringanan biaya. Jadi ada perubahan diagnosanya,” kilahnya.
Di Kabupaten Bojonegoro, apa yang menimpa Marchelina Anggraeni, lebih tragis lagi.
Sebab, atas operasi yang dijalaninya pada akhir 2017 lalu, pihak keluarga dikenakan biaya tambahan hingga mencapai Rp 7 juta. Padahal, seluruh biaya pengobatan pasien tersebut sudah dicover BPJS. Beruntung, uang yang sudah dibayarkan itu dikembalikan pihak rumah sakit usai diadukan ke BPJS.
Humas BPJS Bojonegoro tidak menampik jika ketidaksesuaian pengunaan obat dan tagihan acapkali terjadi di rumah sakit. Sayangnya, saat diklarifikasi, pihak rumah sakit selalu menyampaikan bila pengajuan klaim ke BPJS sesuai dengan penggunaan obat pasien, bukan plafon maksimal pelayanan.
Manipulasi Resep Obat
Selain mengenakan biaya tambahan, modus lainnya yang membuka celah adanya praktik fraud adalah melalui resep obat. Praktiknya, pihak rumah sakit biasanya akan memberikan resep obat yang harus diserahkan pihak pasien ke apotek. Biasanya, resep yang tertulis terdiri dari beberapa jenis obat. Akan tetapi, pada akhirnya, obat yang diberikan kepada pasien tidak sebanyak itu.
Praktik seperti ini salah satunya dialami Muthoillah, warga Manikrejo, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Pasuruan. Ia mengatakan, selama lima hari menjalani perawatan, setiap hari, ia diminta pihak rumah sakit menebus 5 botol infus dari apotek. Padahal, setiap harinya, cairan yang terpakai hanya dua botol. Itu artinya, ada 15 botol infus yang tidak jelas peruntukannya.
Pengalaman yang sama juga datang dari Gunawan Wahyu Pratama, pasien yang sempat menjalani perawatan akibat tipes pada Desember 2018 lalu. Lantaran di rumah sakit tidak ada obat, oleh keluarganya, resep dari dokter kemudian ditebus di luar. Sayangnya, pihak Apotek tidak memberikan kuitansi.
Murtianingsih, 60, warga Jalan Rambutan, Kota Pasuruan mengalami cerita lain lagi. Kendati dalam ketentuannya BPJS mengcover pengobatan pasien hingga sembuh, nyatanya, perempuan baya ini sudah diminta pulang pada hari kelima ia menjalani rawat inap. Biarpun kondisinya belum sehat betul.