Teknologi memang tak pernah kompromi dengan keadaan. Teknologi telah mempengaruhi pola pikir tapi tak pernah bisa memberi solusi jika harapan tak sesuai dengan keadaan.
Oleh : Anang Prasetya,S.Pd*
ISU era 4.0 telah membakar nafsu dan ambisi yang cenderung membabi buta. Berlomba-lomba untuk dikatakan modern dan tak ketinggalan zaman seperti sudah mewarnai pola hidup masyarakat. Dunia pendidikan Indonesia juga ikut eksis dalam hidup di era teknologi tanpa batas ini. Hingga jangan kaget jika tren ujian sekolah berbasis Android sudah mewabah.
Bulan Mei ini telah menjadi saksi seberapa cepat perubahan model ujian yang sedang tren di beberapa SMP dan SMA, baik negeri atau swasta. Kabupaten dan Kota Pasuruan tentu ikut dalam tren ini agar tidak dikatakan ketinggalan xaman. Mau tak mau, suka tak suka ini adalah fakta yang sudah terlanjur nge-tren.
Teknologi memang tak pernah kompromi dengan keadaan. Teknologi telah mempengaruhi pola pikir tapi tak pernah bisa memberi solusi, jika harapan tak sesuai dengan keadaan. Hebatnya lagi dunia pendidikan Indonesia juga mulai lupa diri dan ikutan berkiblat pada teknologi.
Sekolahan itu mempunyai nilai kompleks. Tugas sekolah bukan hanya mengimbangi kemajuan teknologi, tapi ada unsur sosial, budaya, religi, dan banyak unsur lainnya yang perlu diingat.
Institusi sekolah jangan sampai kehilangan jati dirinya hingga lupa akan identitas yang melekat padanya. Jangan larut dalam kehidupan masyarakat yang tak jelas.
Masyarakat Indonesia sekarang memang dalam kehidupan yang semu. Alangkah sulitnya saat kita akan menentukan mana siswa mampu dan mana siswa miskin. Masyarakat Indonesia juga cenderung berani menjual harga dirinya demi identitas modern yang ingin dikejarnya.
Betapa orang tua sibuk membekali anaknya dengan handphone paling canggih. Betapa orang tua sibuk membelikan sepeda motor keluaran terbaru untuk anaknya bersekolah. Apakah kini sekolah tidak punya tanggungjawab untuk memperbaiki karakter bangsa yang sudah mulai kehilangan identitasnya? Mengapa sepertinya sekolah ikut terjerumus dalam kemajuan dan identitas yang semu itu?
Ujian berbasis komputer baru saja mencapai targetnya. UNBK (Ujian Sekolah Berbasis Komputer) dan PAS (Penilaian Akhir Semester) berbasis komputer seolah sudah menjadi ujian paling trendi di masa sekarang. Ujian dengan menggunakan komputer itu masih bisa dikatakan bertanggungjawab. Semua sarana dan prasarana serta semua kelengkapannya dipenuhi oleh sekolah. Siswa hanya melaksanakan ujian tanpa mengeluarkan modal berupa uang atau lainnya.
Hal pentingnya adalah pembelajaran siswa ke arah yang lebih modern. Mereka sama-sama memanfaatkan fasilitas sekolah. Tidak ada perbedaan antara laptop orang kaya dan miskin. UNBK masih mengenal etika. Mereka ujian dalam kondisi tertib dan masih terkena beberapa peraturan formal yang mendidik.
Bagaimana jika kita mulai berpikir tentang dampak ujian sekolah berbasis Android?
Ujian sekolah (Penialain Akhir Semester) berbasis Android telah menjadi tren. Seberapa kaya masyarakat Indonesia saat ini, sehingga beberapa sekolah telah mewajibkan siswanya mempunyai handphone modern dan berharga minimal Rp2 juta atau lebih. Merinding dan terlalu gegabah melihat kebijakan tersebut.
Ada beberapa catatan negatif tentang tren ujian sekolah/PAS berbasis android di antaranya :
- Jika mempunyai handphone modern untuk kebutuhan ujian itu sudah diwajibkan pada setiap siswanya, maka kebijakan sekolah itu perlu dipertanyakan. Tidakkah kita masih sering melihat siswa kita banyak yang nunggak SPP. Coba lihat secara jernih tentang kondisi real siswa kita dan kehidupannya. Banyak siswa kita terutama siswa SMK yang hidupnya masih di bawah garis normal. Lalu apakah kita sudah tak mau tahu dengan hal itu?
- Jika sekolah sudah mewajibkan seluruh siswanya mempunyai handphone canggih, tentu hal itu juga kurang tepat. Jangan-jangan siswa kita tidak lagi berfikir tentang mengerjakan soal dan jawabannya. Mereka sibuk pamer handphone. Tentu hal ini akan merusak situasi ujian. Bayangkan jika dalam persaingan tersebut ada anak-anak yang kurang mampu, lalu apa yang bisa mereka perbuat. Bagi Si Sombong tentu hal tersebut akan digunakan untuk pamer kekayaan.
- Jika sekolah sudah mewajibkan siswanya untuk hal itu, jangan-jangan malah memicu tindakan kriminal. Bagi orang mampu tentu hal tersebut bukan menjadi masalah. Tapi bayangkan bagi orang-orang yang kurang beruntung. Tentu tidak tega melihat anaknya tidak bisa memenuhi kewajibannya. Jika kepepet apapun akan dilakukan orang meskipun di luar kesadaran. Bisa saja mereka mencuri handpnone temannya atau hal negatif lainnya demi bisa ikut ujian.
- Ujian di sekolah dengan menggunakan handphone juga terkesan tidak formal. Memang di zaman sekarang segala sesuatu dibuat tidak seformal mungkin. Namun saat anak-anak mengerjakan soal dengan melihat dan fokus di handphone rasanya membentuk kepribadian yang kurang elegan. Duduk santai di ruangan dengan bahasa tubuh yang kurang wajar. Berbeda dengan ujian menggunakan kertas atau laptop. Bahasa tubuh mereka masih santun dan wajar. Pengawas ruangan juga mendapat porsi kewibawaan sebagaimana mestinya. Dalam fikiran saya terlintas kita telah melakukan sesuatu secara kurang maksimal.
Jika memang ujian di sekolah harus menggunakan handphone mestinya sudah tak perlu lagi ruangan formal dan pengawas ujian. Menjawab pertanyaan di mana saja bisa dilakukan secara on-line. Jadi pola ujian seperti ini adalah kebijakan dengan tindakan setengah hati. ke halaman 2