Namun, berhubung menulis terkadang harus selalu subyektif. Maka, akan saya paparkan sedikit asumsi saya, kenapa lebih sepakat dengan difabel daripada penyandang disabilitas.
- Tidak ada rumusan dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) yang melarang penggunaan istilah difabel.
Meski terdapat peraturan yang menyebut tentang penyandang disabilitas, tapi tidak terdapat larangan dalam KUHP menggunakan kata difabel. Maka dari itu, saya cenderung mengatakan saya difabel ketimbang penyandang disabilitas. Mungkin jika ada rumusannya dalam KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja mengganti atau menyebutkan, baik secara lisan atau tertulis kata selain penyandang disabilitas, dipidana maksimal kurungan penjara seribu tahun.”
Pasti saya akan berpikir 2.000.000 kali untuk menggunakan difabel. Saya belum siap dipenjara. Namun, apalah daya pumpung belum ada larangan.
DIFABEL….!!!!
DIFABEL….!!!!
DIFABEL….!!!!
Semoga tidak ada polisi yang datang ke rumah.
Aminn…. - Manusia dilahirkan berbeda
Setiap manusia pasti memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Teori pembelajaran pun mengatakan demikian, ada orang yang lebih suka belajar dengan mendengarkan (auditory), ada yang lebih suka belajar sambil bergerak (kinestetik), dan ada yang suka melihat (visual)..
Pada kajian antropologi, manusia terbagai dalam berbagai ras, yakni mongoloid, kaukasoid, dan negroid. Pembagian tersebut didasari perbedaan anatomi, warna kulit, dan lain-lain. Tolong jangan tanya lebih lanjut, saya tidak belajar mendalam mengenai itu.
Oke…!!!
Namun, minimal kita tahu atau yang paling maksimal kita menyadari bahwa manusia itu dilahirkan dengan perbedaan. Bayangkan saja, jika seluruh manusia di muka bumi ini kembar identik. Bagaimana caranya kalian mengetahui yang mana pasangan hidup kalian?? Kan kembar identik semua. Sekarang saja, banyak yang berbeda, tetapi juga banyak yang salah.
Atau mencoba untuk salah….
“hanya Tuhan yang tahu” - Indonesia lebih dulu kenal difabel
Sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang. Bangsa Indonesia masih setia dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Semboyan itu dapat kita lihat dicengkeram oleh cakar Sang Garuda, yang terpasang ditembok di depan kelas kala SD, SMP, dan SMA. Bahkan, semboyan “Bhineka Tunggal Ika” sudah ada pada abad 14 dalam Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular.
“Bhineka Tunggal Ika” memiliki makna berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Berbeda dalam bahasa inggris “diferent”. Jika mendengar kata diferent, pasti akal langsung sambung ke abilities people. Kalau disingkat jadinya “difable” atau biasa disebut dengan “difabel”. ke halaman 2
Maka dari itu, Indonesia sangat mengenal perbedaan, sebab hal itu sudah berlangsung sangat lama. Bahkan, di saat Indonesia masih belum terbentuk sebagai negara. Jadi, bukanlah suatu kesalahan ketika istilah difabel yang saudara-saudarapakai untuk mengidentifikasi penyandang disabilitas atau difabel, sebab, kemunculan kata berbeda lebih dahulu ketimbang Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meski rujukan atau referensi kata ini masih dipertanyakan… Namun, alangkah baiknya jika kita menghargai dan tidak melupakan sejarah.
Tentu saja, saya menulis ini bukan bermaksud memecah pihak pro-disabilitas dengan pihak pro-difabel, seperti semboyan kita, yakni “Berbeda-Beda Tetapi Tetap Satu Jua”. Sayangnya, penulis pasti masih punya subyektifitas untuk digunakan dalam imajinasinya ketika menulis.
Pokoknya yang terpenting, DIFABEL… DIFABEL… DIFABEL…..
“menjadi berbeda bukan suatu kesalahan. Memaksakan kesamaan itu yang menjadi sangat salah.” (*)