9 Sasi, Harga Garam Tak Kunjung Membaik

1710

Probolinggo (wartabromo.com) – Sudah 9 bulan lamanya, harga jual garam rakyat tak berubah di Kabupaten Probolinggo. Petambak garam pun menjerit, karena sebentar lagi akan memasuki musim produksi.

Di tingkat petambak garam, saat ini garam rakyat hanya dihargai Rp 925 per kilogram. Kondisi ini, sudah berlangsung sejak Agustus 2018 lalu. Artinya selama 9 bulan terakhir tidak ada perbaikan harga garam rakyat. Padahal, sebelumnya harga garam rakyat laku sebesar Rp 2 ribu per kilogramnya pada Juni 2018. Harga itu semakin merosot seiring datangnya panen raya dan musim hujan.

“Harga garam tak kunjung mengalami perubahan. Kalau dulu, memang sempat murah karena selain musim hujan juga karena adanya panen raya. Jadi harga garam jadi permainan para pedagang. Apalagi banyak kembalian dari pabrikan. Tapi sekarang, belum ada kenaikan. Padahal akan segera memasuki musim produksi,” kata Ketua Kelompok Petambak Garam Kalibuntu Sejahtera, Suparyono, Sabtu (27/4/2019).

Baca Juga :   Video Sambang Tokoh 'Bersama Kapolres Pasuruan'

Lesunya harga garam rakyat, menurut Suparyono tentunya akan membuat petambak gelisah. Sebab, garam rakyat hasil produksi tahun lalu banyak yang tidak terserap pasar. Ribuan ton garam masih tersimpan rapi di gudang. Hal itu dilakukan petambak untuk meminimalisir kerugian karena harga garam yang murah.

“Dulu petambak garam memilih untuk menyimpan stok garam di gudang selama musim hujan dan panen raya berlangsung,” tuturnya.

Suparyono mengatakan harga keekonomisan garam adalah Rp 1000 per kilogram. Harga ini sudah bisa menutup biaya produksi yang dikeluarkan petambak garam.

“Tak perlu harga mahal, seribu saja sudah pasti kami lepas. Tentu itu akan mengurangi stok di gudang, apalagi sekarang kami mulai memproduksi garam, mesti tidak semuanya,” ujarnya.

Baca Juga :   Jatim Siapkan Truk Sembako Saat Ramadhan dan Lebaran

Untuk bersaing di pasaran, petambak dituntut memproduksi garam yang bagus. Untuk memproduksi garam dengan kualitas baik, mereka dituntut menggunakan geomembran. Sehingga petani masih harus terbebani dengan biaya pembelian geomembran yang harganya mencapai Rp 4,1 juta untuk setiap 100 meter.

“Garam yang diproduksi tanpa menggunakan geomembran, kurang laku di pasaran dengan alasan selain tidak berkualitas. Warnanya yang tidak putih kurang menjadi daya tarik pembeli. Di sisi lain, harganya tidak mendukung. Harapan kami tentunya ada kenaikan harga, sebelum stok semakin berlimpah,” ungkap Abdul Aziz, petani garam asal Desa Kebon Agung, Kecamatan Kraksaan. (cho/saw)