Idealnya, momen Pemilu menjadi saat tepat kita gunakan menentukan suara atau pilihan pada calon yang dianggap layak, berkompeten, dan berkapasitas untuk mengemban amanah rakyat baik pada level Pilpres, Pilgub, Pilkada, juga Pileg.
Oleh M. Zainul Arifin, ST
PEMILU menjadi momentum tepat bagi kita untuk turut serta mempertahankan atau mengganti sirkulasi roda pemerintahan ke arah yang lebih berkualitas.
Namun pada aspek lainnya, momen Pemilu menjadi momen yang dinantikan secara khusus oleh ‘sebagian’ masyarakat. Hampir sama gairahnya seperti saat menyambut ‘lebaran’ tiba, yakni bergairah menantikan santunan dan tunjangan.
Pada konteks Pemilu, santunan tersebut adalah berasal dari para calon ataupun kandidat yang berkompetisi dalam Pemilu, yang dalam istilahnya disebut “money politic” (politik uang). Antusiasme ini hampir serupa seperti saat orang-orang menantikan santunan dan tunjangan menjelang lebaran.
Bedanya, santunan dan tunjangan lebaran itu dibolehkan karena bukan bersifat suap, sedangkan money politic jelas terlarang karena mengandung suap dan urgensi demi meraih massa dan suara secara ‘curang’ pada saat momen pencoblosan tiba. Tentu, praktik money politic ini telah mencederai semangat kejujuran dalam berdemokrasi.
Miris dan prihatin, mungkin inilah yang kita rasakan, fenomena ini menjadi duka bagi semua elemen bangsa. Betapa tidak, money politic bukan lagi menjadi tragedi yang mengejutkan dalam pesta demokrasi. Itu nyata terjadi dan mewabah ke seluruh penjuru negeri.
Money politic yang secara tegas terlarang seakan menjadi bagian dari rutinitas yang wajar dan ‘normal’ tatkala musim Pemilu tiba. Dan hal itu telah mengakar kuat di tengah proses demokrasi yang saat ini sedang sama-sama kita bangun, demi tercapainya kehidupan berdemokrasi yang sehat dan berkualitas.
Kiranya, kita semua telah berulang kali menyaksikan para calon dan timsesnya “bagi-bagi amplop” saat kampanye, dan sudah berulang kali pula kita saksikan berita kecurangan politik uang yang ditindak Bawaslu.
Namun, itu semua tak mampu menghilangkan kegiatan politik uang di negeri ini, justru praktik kecurangan ini semakin menjamur dan berkembang-biak di tiap daerah.
Yang terbaru adalah tertangkapnya Bowo Sidik Pangarso (BPS) yang merupakan salah seorang anggota DPR dari fraksi Golkar. Berita ini cukup menggemparkan dan menyita perhatian publik ditengah panasnya riuh politik di tahun pemilu kali ini.
Betapa mencengangkan, BPS tertangkap oleh KPK dengan barang bukti uang senilai 8 miliar rupiah yang dikemas secara terpisah dan terbagi ke dalam empat ratus ribu amplop. Disinyalir uang tersebut adalah hasil dari penerimaan suap yang melibatkan korporasi, dan rencananya ratusan ribu amplop tersebut dipergunakan untuk “serangan fajar”. Kasus yang menimpa BPS tersebut mencerminkan betapa kacaunya kondisi praktik pemilu saat ini.
Tak pelak, goresan yang terlajur menjadi ‘borok’ dalam konstelasi politik kita saat ini sudah sangat parah. Pada satu sisi masyarakat sudah dibuat terlanjur menjadi pecandu uang politik, namun di satu sisi lainnya masyarakat mengecam keras kepada pejabat yang korupsi. Perilaku korupsi seakan menjadi solusi bagi pejabat untuk kejar setoran demi mengembalikan dana kampanye dan vote buying (pembelian suara), sekaligus sebagai modal tabungan untuk dipergunakan sebagai dana kampanye di kontes pemilu selanjutnya. Siklusnya akan terus seperti ini.
Di berbagai forum kajian, diskusi, dan seminar, pembahasan yang bertema “Money Politic” telah cukup sering dibicarakan, terutama di tahun-tahun politik yang sejauh ini selalu menempatkan politik uang sebagai bahasan khusus. Bahkan di beberapa program televisi, diskusi mengenai politik uang selalu diangkat di setiap pasca terungkapnya kasus politik uang.