Pasuruan (wartabromo.com) – Demi pemenuhan kuota sebesar 30%, seribu satu cara dilakukan partai politik untuk mencari perwakilan caleg perempuan maju di Pemilu. Salah satunya, para kader perempuan dirayu untuk memberanikan diri maju jadi caleg.
Hal ini mencuat saat dilangsungkannya Focuss Grup Discussion (FGD) yang diadakan oleh Warmo Institute bersama para aktivis perempuan Pasuruan yang bertema Mendulang Suara untuk Perempuan dan Perempuan untuk Suara, Jumat (12/4/2019).
Ika Dianing Lestari, aktivis Woman Crisis Centre (WCC) Pasuruan ini mengutarakan pengalamannya. Perempuan yang juga guru di SDN Trajeng ini mengungkapkan, seorang kawannya yang kini menjadi caleg di Kota Pasuruan ini diajak salah satu parpol untuk bergabung menjadi caleg. Bahkan proses rekrutmennya pun terkesan asal-asalan.
Ia pun meragukan elektabiltas dan kualitas caleg tersebut saat ia terpilih menjadi anggota dewan nantinya. Menurutnya, kawannya yang saat ini telah menjadi caleg itu tak punya bekal pendidikan politik sebelumnya.
“Ada kenalannya di parpol, terus kawanku itu diajak hanya dengan mengumpulkan identitas saja. Padahal dia tidak punya background politik sama sekali,” ungkapnya di hadapan seluruh peserta diskusi.
Hal tersebut juga diamini oleh Widia Sofa, Caleg DPRD Kabupaten Pasuruan. Ia mengatakan, kekurangan caleg perempuanlah yang menjadi penyebabnya. Parpol terkesan asal-asalan memilih perempuan untuk memenuhi sebesar 30% kuota untuk perempuan menjadi caleg. Bahkan ia mengaku dirayu oleh parpol yang dinaunginya untuk berani maju di pencalegan.
“Memang dirayu pada saat proses seleksi administrasi. Ya karena kekurangan caleg perempuan,” ungkap perempuan yang nyaleg untuk kedua kalinya ini.
Perempuan yang akrab disapa Sofa ini awalnya memang mengaku hanya untuk pemenuhan kuota saja. Namun ia merasa harus benar-benar berjuang untuk berhasil duduk di kursi dewan agar dapat berjuang memperjuangkan nasib kaum perempuan.
Caleg di dapil 6 ini juga mengaku tidak ada pendidikan politik yang diberikan parpol untuk membekali para kadernya untuk berjuang memperoleh suara pemilih.
“Sebelumnya memang tidak ada pelatihan politik, hanya pada saat mendekati pencalonan saja. Untungnya saya sudah punya pengalaman saat masih di ormas dulu,” pungkasnya. (ptr/ono)