Terinspirasi oleh tokoh pahlawan Untung Suropati, unsur corak dan motif batik Pasedahan mengandung makna filosofis mendalam.
Laporan: Ardiana Putri
BERJALAN-JALAN menghabiskan waktu akhir pekan di Pasuruan Jaman Biyen (PJB) 2019 sepertinya tak rugi. Selain bisa cuci mata sembari mencicipi jajanan tradisional yang mungkin sudah jarang ditemui, di PJB 2019 ini bisa juga belajar tentang budaya tradisional.
Membatik misalnya.
Tak mau ketinggalan, WartaBromo juga mengunjungi PJB 2019 untuk menikmati suasana tempo dulu yang dihadirkan di GOR Untung Suropati Kota Pasuruan. Mulai dari pintu masuk sebelah timur, kemudian mengitari bagian belakang GOR yang menjajakan berbagai makanan. Hingga sampailah pada salah satu stan yang ikonik dan cukup menyita perhatian yakni stan yang memamerkan batik. Lembaran-lembaran batik itu terlihat memiliki nilai estetis tingkat tinggi.
WartaBromo pun dipersilahkan untuk belajar menorehkan lilin di atas kain yang memang sudah dipersiapkan bagi para pengunjung PJB yang ingin belajar membatik.
Tak lupa, Sri Kholifah (56) sang pembatik mengajarkan dengan telaten sekaligus menjelaskan tentang batik yang menjadi batik khas Kota Pasuruan. Batik Pasedahan Suropati namanya.
“Unsur corak dan motifnya mengandung makna filosofis yang mendalam. Ide dasar pembuatan batik yang menjadi batik khas Kota Pasuruan ini terinspirasi oleh tokoh pahlawan Untung Suropati,” ungkap Sri Kholifah, sang pencipta batik Pasedahan Suropati.
Dikatakannya, Pasedahan berarti kesehatan. Corak utama batik Pasedahan adalah daun sirih temurose (Daun Sirih yang 5 ruasnya bertemu), manfaatnya memang untuk obat tradisional. Filosofinya, yakni melambangkan kepedulian masyarakat Pasuruan terhadap pentingnya menjaga kesehatan.
Corak burung Kepodang juga ditampilkan di batik yang dihargai 15-20 juta rupiah ini. Namun hanya ditampilkan secara siluet saja. Bulu-bulu burung Kepodang pada bagian sayap hingga ekor jumlahnya harus ditentukan. Seperti 30 bulu ekor yang melambangkan banyaknya juz dalam Kitab Al-Quran, karena masyarakat Pasuruan dikenal agamis dan merupakan kota santri.
“Kami memanfaatkan pewarna alami yang didapatkan dari alam, seperti batang nangka, buah markisa, secang, serta masih 270 an lagi macam-macam tanaman yang kami manfaatkan,” imbuhnya ramah.
Ia dan kawan-kawan pembatik lainnya menyadari, proses pemanfaatan bahan alami ini memakan waktu yang sangat lama hingga berbulan-bulan. Namun di balik itu, ia ingin karyanya ini tidak sampai mencemari lingkungan jika memakai pewarna sintetis.
Harga batik tulis premium inipun dikatakannya sebanding dengan proses pembuatan serta nilai seni yang tersirat di balik Batik Pasedahan Suropati.
“Untuk Pasedahan Suropati sudah ada pangsa pasarnya tersendiri, kami kirim ke Malaysia, Australia, Selandia Baru, dan Korea,” ungkap perempuan paruh baya yang kini tinggal di Prigen ini.
Kholifah juga mengungkapkan kebangganannya. Pada pembukaan Event PJB 2019, istri Wawali Kota Pasuruan turut menorehkan warna di batik ciptaannya itu. (*)