Keris: Produk Budaya Kaya Makna

2869
Banyak orang membicarakan keris dari sudut pandang klenik. Padahal, sebagai produk budaya, keris merupakan karya seni tempa kelas tinggi. Pendekatan metalurgi diperlukan agar tak sesat makna.

Laporan Mochammad Asad

MOMENTUM itu terjadi pada November 2005 silam. Ketika itu, melalui sebuah persidangan yang digelar Unesco, organisasi di bawah naungan PBB itu memutuskan untuk memasukkan keris sebagai warisan dunia.

Ada banyak alasan yang menjadikan Unesco mengakui karya adiluhung buatan tangan ini hingga harus dilestarikan. Salah satunya, makna filosofis di setiap bagian keris.

Proses pembuatannya yang sarat dengan perjuangan membuatnya sebagai karya seni kelas tinggi. Karena itu, dibanding produk kebudayaan lainnya, keris bisa jadi satu-satunya yang diterima Unesco bukan saja pada unsur bendawinya, tapi juga nonbendawinya (intangible).

Persoalannya, kondisi sebaliknya justru terjadi dalam negeri. Ketika dunia luar melalui Unesco memberikan pengakuannya, sebagian besar masyarakat justru melihat keris sebagai benda yang sarat dengan klenik. Tak lebih. Imbasnya, aspek metalurgi keris tak jamak diketahui.

Baca Juga :   Siswi SMP di Pasuruan Diperkosa Bergilir 6 Siswa dan 3 Pemuda

“Padahal, ada banyak makna filosofis yang tersimpan di balik setiap bentuk keris,” kata Kanjeng Raden Arya (KRA) Natakusuma Cakra Hadiningrat kepada WartaBromo, akhir pekan lalu.

Pegiat budaya yang akrab disapa Mpu Purwo termasuk orang yang tidak sepakat bila keris hanya dilihat dari unsur mistisnya. Sebab, semakin orang melihat dari sisi mistik atau kleniknya, keris justru akan semakin kehilangan nilainya.

Menurut Mpu Purwo, sebagai sebuah produk budaya, keris dibuat dengan beragam metode. Si pembuat pun, kata dia, harus memahami berbagai disiplin keilmuan. Termasuk, memahami karakter berbagai jenis logam.

Karena itu, seyogyanya keris ia tidak hanya dipandang sebagai benda pusaka tak bermakna. Melihat keris hanya dari sisi mistiknya, kata Mpu Purwo, akan menjauhkan aspek filosofis keris itu sendiri. “Kearifan-kearifan lokal yang ada di balik keris juga tidak akan diketahui,” jelasnya.

Baca Juga :   Pengusaha di Pasuruan Wajib Beri THR H-7 Lebaran, Ini Ketentuannya

Sebagai produk budaya, keris tidak pernah diposisikan sebagai karya seni yang kaya akan makna. Tapi, lebih sebagai benda pusaka yang dipercaya memiliki khasiat tertentu. Akibatnya, banyak pihak menyimpan keris dengan alasan tersebut, ketimbang penghargaan atas keunggulan karya seninya.

Mpu Purwo tak menampik adanya unsur non bendawi pada keris. Tetapi, setidaknya hal itu harus diimbangi pemahaman terhadap aspek metalurgi yang melekat pada keris itu sendiri.

Dikatakan Mpu Purwo, pada zaman dahulu keris mempuyai dua fungsi. Yaitu sebagai senjata perang (Keris Tayuhan) dan sebagai pusaka (Keris Ageman).

Keris pusaka sengaja dibuat bukan untuk senjata perang tapi sebagai spiritual, atau jimat. Sebagai pusaka, keris memang berbeda dengan senjata tajam lainnya. Karena itu, untuk membuatnya, tidak sembarang orang bisa melakukannya.
Si pembuat, kata Mpu Purwo, harus memiliki kemampuan sebagai seorang mpu (pembuat keris, Red). Inilah yang menjadi pembeda antara keris dengan senjata tajam lainnya, seperti pisau atau pedang.

Baca Juga :   Dinas Kelautan: Puluhan Paus Terdampar karena Mencari Perairan Dingin

Keris dibuat dengan material benda yang memiliki karakter tertentu. Misal, meteor dan besi. Melalui proses yang penuh peluh, percampuran berbagai logam itulah yang kemudian diolah menjadi keris. Saat proses pengolahan itulah, pemahaman akan karakter masing-masing logam diperlukan guna menyesuaikan energi yang dibutuhkan. Sebab, menurut Mpu Purwo, masing-masing logam memiliki ion atau energi yang boleh jadi berlawanan atau tidak sesuai dengan pemegang keris.

Sebagai pembuat keris, Mpu Purwo mengaku banyak melakukan penelitian seputar per-keris-an. Dengan begitu, ketika ada yang ingin memiliki keris, pihaknya akan menyesuaikan dengan karakter logam yang dibutuhkan.