“Bagaimana sebuah visual kekerasan oleh anak-anak, menjadi hal galib.”
Oleh Tuji
MEME bertuliskan “Tuman” viral di lini masa media sosial (medsos). Sebarannya cukup masif, karena seseorang bisa sunggingkan senyum ketika handphone yang dipegangnya, mendapati gambar dua karakter kartun mirip “Upin&Ipin” saling berhadapan dan lebarkan tawa. Satu di antaranya lemparkan tangan ke wajah lainnya, seakan berucap “tuman”, menyusulkan kalimat sebelumnya.
Satu meme yang sempat didapat berbunyi:
“Gk Tau Ng TKP, Tapi Kirim Berita. TUMAN!”
Saduran:
“Tak Pernah ke Tempat Kejadian Perkara (TKP/lokasi), Tapi Kirim Berita. TUMAN!”
Kalau diterjemahkan, meme dengan kata/kalimat alay itu, menggambarkan sindiran ke wartawan (cetak/TV/online) yang tak pernah datang ke lokasi kejadian, tapi selalu mendapatkan bahan untuk pelaporannya.
Tapi, kita tidak sedang menyoroti prilaku wartawan, yang tak pernah berada di lokasi peliputan lho.
Nah, ada hal menarik dari meme-meme yang beredar, yakni selalu diakhiri dengan kata tuman.
Mengulik yang ditulis WartaBromo, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata tuman berarti menjadi biasa (kebiasaan), suka atau gemar. Istilah ini biasanya digunakan dalam perbuatan negatif. Istilah tuman dikenal pada warga yang menggunakan Bahasa Jawa, khususnya mereka yang berada di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Kerap digunakan para orang tua dan guru, ketika memarahi seorang anak yang bandel.
Lebih kurangnya dapat dipahami, kata tuman adalah menyatakan ungkapan berupa hardikan bahkan pukulan kepada pihak lain karena bandel, kurang sopan atau wartawan, yang tak pernah berada di lokasi kejadian, seperti meme yang saya dapatkan.
Sebagaimana kalimat awal, yang dirasakan kali pertama saat melihat meme “Tuman”, sungging senyum? ya! Lucu? barangkali.
Tapi, tanpa disadari kita telah dipertontonkan dengan aksi kekerasan, karena tergambar jelas duet meme si gundul itu ada penampar dan tertampar. Ada yang memukul dan korban pemukulan. Penganiayaan.
Saya tak bisa memahami, bagaimana sebuah gambar mirip anak-anak menunjukkan kekerasan itu, justru menjadi hal galib.
Masalahnya lagi, sampai saat ini tak ada penyikapan dari para ahli, pegiat anti kekerasan, untuk bersuara setidaknya berucap prihatin.
Ahli atau pemerhati sosial bahkan ahli kejiwaan, dibutuhkan untuk mengukur sampai sejauh mana efek negatif bagi anak ketika visual menampar seseorang luas beredar, jadi guyonan.
Atau boleh juga menunggu sikap mama Yo, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk memberi arah kebijakan soal anak-anak dari konten guyon bernada kekerasan kali ini.
Problem besar saya adalah ada tiga anak (dua putri cantik dan satu putra ganteng), yang saban waktu menggenggam handphone.
Bisa dibayangkan, putri saya yang masih duduk di kelas IV sekolah dasar, senyum-senyum setelah melihat “Upin” menampar “Ipin”. Seakan tamparan itu, hal yang lumrah dan boleh dilakukan. Ngeri.
Sepertinya para orang tua perlu juga memberikan perhatian soal beredarnya meme berbau kekerasan. Tetap mendampingi selain juga memberikan penjelasan, bahwa meme menampar itu salah dan tak boleh ditiru.
Sadar juga, netizen kita ini kelewat cadas kalau menyangkut kreativitas. Itu patut diacungi jempol.
Cuman, kreativitas dengan memunculkan meme-meme baru, yang masih mengarah problem kekerasan, kayaknya perlu dihindari, lebih-lebih dalam grafis menonjolkan visual bocah melakukan tindak kekerasan.
Yuk! Netizen. Tetap tunjukkan karya dan kreativitas. Salam damai. (*)