Boleh kok terkejut. Karena KPK catat Setiyono, Wali Kota Pasuruan nonaktif miliki uang Rp2,96 miliar. Uang sebanyak itu dikumpulkan dari memungut fee proyek selama kurun tiga tahun. Ini mengemuka setelah ada suap ratusan juta rupiah dari proyek PLUT.
Oleh Tuji
TAK tanggung-tanggung, nyaris Rp3 miliar ngumpul sesaki kantong Setiyono. Duit sebanyak itu didapatnya dari mengutip hasil pekerjaan rekanan selama kurun tahun anggaran (TA) 2016, 2017, dan 2018.
Begitu kira-kira yang terungkap dalam risalah dakwaan, dibacakan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) terhadap sosok, yang saat ini masih menjadi orang nomor satu di Kota Pasuruan ini.
Ya, Setiyono untuk kali pertama menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Senin (25/2/2019). Hingga penyebutan status yang sebelumnya tersangka terkait kasus suap proyek itu, kini secara sederhana menjadi terdakwa lantaran di-meja hijau-kan.
Menyimak dakwaan, jaksa sampat mencatat ada uang mencapai Rp2,96 miliar (tepatnya Rp2.967.243.360), terkumpul.
Sepertinya boleh sedikit terkejut (atau bahkan sangat terkejut). Apa pasal? Pemahaman awal kasus menjerat pria yang sebelumnya menjadi Wakil Wali Kota ini, sebatas pada proyek Pusat Layanan Usaha Terpadu Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (PLUT-KUMKM) Kota Pasuruan.
Lha wong Setiyono dibekuk KPK gara-gara ada keterangan soal suap PLUT, dari Dwi Fitri Nurcahyo, Plh Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), tak lama setelah Wahyu Tri Hardianto, staf Kelurahan Purutrejo memberikan pengakuan. Nah, ini malah mblara ke banyak proyek lainnya.
Modus yang dilakukan Setiyono dkk, mendapatkan fee juga terbilang sederhana. Dimulai dengan menentukan –istilah populernya mengkondisikan atau ploting-, siapa saja rekanan yang bakal menjadi jawara sampai kemudian para rekanan diikat dengan komitmen fee, mencapai 10% dari nilai tiap-tiap proyek.
Dari sumber berita, Wahyu ”Encus” ini yang pertama kali dicokok KPK bareng-bareng dengan M. Baqir, pengelola CV Mahadhir.
Kembali ke sorotan uang dengan jumlah Rp2,96 miliar, yang dikumpulkan Setiyono.
Selama tiga tahun berjalan, uang terakumulasi diperoleh dari fee selain mem-ploting proyek untuk rekanan.
JPU KPK secara terang mengungkapkan, jika uang itu juga atas kerja keras Dwi dan Wahyu, dengan cara menghimpun fee dari para pemenang tender proyek di lingkungan Pemkot.
Belum diketahui berapa jumlah rekanan yang telah menyetor uang fee selama ia menjabat. Lebih-lebih mengenai jumlah keseluruhan proyek yang “ditarik upeti”.
Padahal, barang bukti uang yang dimiliki KPK, berkenaan dengan PLUT, pada kisaran ratusan juta rupiah, masuk bagian duit Rp2,96 miliar itu.
Dalam sejumlah rasan-rasan di kedai kopi pagi ini, ada yang bilang, tak sepatutnya KPK melebar ke kasus lain, karena harus fokus ke penyelesaian dugaan suap PLUT. Tapi sebagian lain menyela, dengan menyebut pengembangan dalam kasus korupsi, seperti yang ditangani KPK ini, sudah sesuai, justru kudu didukung.
Ah, sepertinya tak perlu berpolemik bagaimana cara maupun sudut pandang KPK menangani kasus dugaan suap menyuap di lingkungan Pemerintah Kota Pasuruan.
Karena mengutak-atik, kemudian malah mencoba memrotes arah KPK selesaikan kasus, kita juga tak miliki kemampuan.
Pastinya yang dihadapi sang juragan itu boleh dikata wajar dalam posisi dan perspektif hukum. Sehingga, ikhtiar para aparat penegak hukum perlu didorong agar bekerja profesional.
Barangkali dengan melebarkan jeratan tak hanya pada dugaan suap PLUT, lembaga anti rasuah yang berkantor di Kuningan Jakarta itu, ingin menunjukkan komitmen meningkatkan perbaikan tata kelola dan kebijakan pemerintah, yang tak salahi aturan. Wallahu.. (*)