Menyulap limbah menjadi sesuatu yang bernilai jual ditekuni pasangan suami istri muda di Desa Winongan Lor, Kabupaten Pasuruan. Pasutri muda ini, belakangan memproduksi alat musik tabuh bernama Darbuka. Tak tanggung- tanggung, baru lima tahun fokus berbisnis Darbuka, pasarnya telah merambah hingga mancanegara.
Laporan: Ardiana Putri
Alunan musik bertalu-talu terdengar dari ujung gang Dusun Panci’an, Desa Winongan Lor, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan. Sayup-sayup irama musik itu, seperti berasal dari alat musik tabuh namun berbeda dengan alunan gendang.
Ternyata, alat musik itu tengah dipukul seorang lelaki bernama Ahmad Najih (30). Menurut warga sekitar, ia memang terkenal sebagai pemain Al-Banjari. Untuk menjawab rasa penasaran, Wartabromo mencoba mengetahui lebih dekat tentang alat musik yang berirama khas Timur Tengah tersebut.
Rumah dengan halaman seluas 15 X 10 meter itu berjajar berpuluh-puluh alat musik bernama Darbuka. Perempuan muda bernama Tutik Mudzakiroh (26) menyambut ramah kedatangan Wartabromo.
Singkat cerita, Ahmad Najih dan Tutik Mudzakiroh ini merupakan pasangan suami istri. Mereka berdua bisa dibilang telah sukses merintis usaha pembuatan Darbuka, alat musik tabuh menyerupai gendang yang terbuat dari alumunium. Alat musik ini memang berasal dari Timur Tengah. Namun belakangan semakin populer di Indonesia.
“Biasanya dipakai untuk mengiringi Al-Banjari, Gambus, Hadrah dan semacamnya,” ungkap Najih.
Darbuka yang diproduksi pasutri muda ini, sudah dijual di lebih dari 30 daerah di Indonesia. Tak hanya itu, pelanggan tetap Darbuka asal Winongan ini berasal dari Malaysia dan beberapa kali di ekspor juga ke Istanbul dan negara di Timur Tengah lainnya.
Najih dan Tutik juga tak sungkan membeberkan suka duka mereka selama merintis usaha pembuatan Darbuka ini.
Berawal dari hobi dan profesi sebagai seorang pemain di grup Al-Banjari, Najih saat itu harus memenuhi permintaan beberapa rekannya untuk diajari memainkan Darbuka. Tak hanya diminta untuk menjadi pengajar Darbuka, ia pun mendapat pesanan Darbuka dari beberapa rekannya itu.
Seiring berjalannya waktu, pesanan yang datang untuknya semakin banyak. Najih akhirnya memutar otak agar bisa memproduksi sendiri alat musik tabuh itu. Menariknya, Najih dan istrinya itu memberanikan diri untuk memanfaatkan limbah alumunium yang didapat dari pengepul rongsokan.
“Bahan baku yang kami pakai memang dari alumunium bekas, namun Alhamdulillah malah semakin mendapat respon positif dari pelanggan,” papar Tutik.
Darbuka yang diproduksi pasutri muda ini tersedia dalam berbagai ukuran, yakni 8,5 inchi, 8,75 inchi, dan 9 inchi dengan berat 4-5 kilogram. Harganya pun bervariatif mulai dari 250 ribu hingga 1,8 juta rupiah.
Dalam seminggu, mereka dapat memproduksi lebih dari 100 Darbuka. Bahkan pelanggan tetap dari Malaysia bisa memesan antara 30-60 buah. Dapat dibayangkan berapa omzet yang didapatkannya.
Lima tahun berbisnis, pasutri muda ini dapat membuka lapangan pekerjaan untuk orang-orang di sekitar rumah tinggal mereka. Sebanyak 13 orang karyawan bekerja untuk memproduksi Darbuka yang sudah berkelas ekspor ini.
Tentunya, usaha yang dirintis pasutri yang telah dikaruniai dua anak ini selalu berjalan mulus. Mereka bahkan pernah ditipu pelanggan hingga mengalami kerugian sebesar 10 juta rupiah.
“Saat itu ada pelanggan artis cukup terkenal dari Jakarta memesan Darbuka kami, namun uangnya tidak juga kembali. Namun di balik itu ada hikmahnya, kami diberi rejeki berlipat ganda oleh Tuhan,” pungkas Tutik. (*)