Isu santer lain yang juga dihadapi KPU adalah isu bahwa ”Orang Gila disuruh mencoblos”. Ada yang harus dipahami oleh asyarakat tentang isu “Orang Gila mencoblos”. Ini berawal dari Putusan MK atas permohonan gugatan tentang Hak pilih bagi Penyandang Disabilitas Mental, begitu KPU menyebutnya. Yaitu Putusan MK no 135/PUU-XIII/2015, bahwa MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya, bahwa penyandang disabilitas mental atau tuna grahita tetap, didaftar dalam DPT, sepanjang ada surat keterangan dokter atau ahli jiwa, bahwa mereka tidak sedang dalam gangguan jiwa permanen.
KPU RI mengakomodir UU nomor 7/2017 yang tidak lagi mencantumkan pasal yang berbunyi “tidak sedang dalam gangguan jiwa”. KPU RI juga menuangkan dalam PKPU nomor 37/2018 tentang perubahan PKPU nomor 11/2018, pada pasal 4 yaitu menghapus ayat yang berbunyi “tidak sedang dalam gangguan jiwa”.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Penyandang Disabilitas Mental atau Tuna Grahita mempunyai hak untuk didaftar sebagai pemilih, sepanjang tidak ada surat keterangan dokter atau ahli jiwa, bahwa mereka tidak sedang dalam gangguan jiwa permanen.
Namun, PKPU nomor 37 tahun 2018 mensyaratkan untuk bisa menggunakan hak pilihnya di TPS, pemilih harus terdaftar di DPT; DPTb; DPK; genap berusia 17 tahun; sudah menikah/pernah menikah; tidak sedang dicabut hak pilihnya, berdasarkan putusan pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; berdomisili di wilayah administratif pemilih, dibuktikan dengan KTP-el atau Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; tidak sedang menjadi TNI-POLRI.
Dengan adanya isu tentang “Orang Gila mencoblos”, KPU Kota Pasuruan terus melakukan sosialisasi, baik intern maupun ekstern. Terutama KPU Kota Pasuruan melakukan penguatan lembaga badan Ad Hoc, yaitu memberikan pemahaman di setiap rapat kordinasi tentang isu tersebut, agar PPK dan PPS mampu menjawab dengan benar, tentang pendataan yang harus dilakukan oleh PPK atau PPS, berkaitan dengan Surat Edaran KPU RI nomor 1401/PL.02.1-SD/KPU/XI/2018 tentang Pendaftaran Pemilih bagi Penyandang Disabilitas Mental atau Tuna Grahita.
Isu berikutnya tentang “Kotak Suara Kardus”. KPU mendapat banyak pertanyaan dan sorotan, terutama di media sosial, tentang keputusan menggunakan Kotak Suara dari Karton Kedap Air. Netiizen bahkan menyebutnya sebagai kardus dan menganalogikan dengan kardus mie instan, kardus susu atau kardus air mineral. Netizen pun menyangsikan keamanannya. Tentu KPU tidak begitu saja membuat regulasi tentang Kotak Suara.
Dalam penyusunan PKPU, tahapan konsultasi dengan DPR sudah di lalui. KPU menuangkan penggunaan Kotak Suara Karton Kedap Air dalam PKPU nomor 15 tahun 2018 tentang Norma, Standar, Prosedur, Kebutuhan Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Di PKPU tersebut disebutkan dengan jelas, spesifikasi Kotak Suara Karton Kedap Air. Lebih dari itu, penggunaan Kotak Suara Karton Kedap Air ini bukan pertama kalinya, akan dipakai pada pelaksanaan pemilu 2019, sebagai logistik pemilu. Namun, KPU sudah menggunakan Kotak Suara habis pakai dalam wujud Karton Kedap Air, lima tahun lalu secara bertahap.
Beperapa daerah yang Kotak Suara Aluminiumnya ada kekurangan -karena rusak atau hilang-, KPU RI memenuhinya dengan menggunakan Kotak Suara Karton Kedap Air. Dalam beberapa kesempatan, KPU RI melakukan simulasi tentang kekuatan dan keamanan dari Kotak Suara Karton Kedap Air. Ketua KPU Arif Budiman menyampaikan, selama penggunaan Kotak Suara Karton Kedap Air pada pemilu yang lalu, tidak terjadi masalah sebagai logistik Pemilu, karena tentu saja sudah memenuhi standar logistik Pemilu.