Industri Farmasi Ikut ‘Sakit’ Imbas BPJS Kesehatan Defisit

3196

Sebelum terjadi defisit, pihaknya memproduksi 2 juta pack infus setiap bulannya. Tetapi, semenjak pembayaran oleh BPJS seret, kuota produksi dikepras hingga tinggal 800 ribu pack setiap bulan. “Agak berat juga sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, untuk beli bahan baku juga susah kalau pembayarannya tidak lancar,” jelasnya. Apalagi, perusahaannya juga belum lama berdiri.

Sebagai produsen infus, PT MJB Pharma memang belum lama. Dilaunching pada tahun 2014, pabrik yang berlokasi di pinggir Jalan Raya Malang-Pasuruan ini dibangun di atas lahan sekitar 4 hektare lebih dengan pekerja sekitar 150 orang. Pada Mei 2018 lalu, produk MJB masuk dalam daftar katalog obat.

Di sisi lain, masuknya MJB dalam daftar katalog obat justru tidak semakin leluasa dalam melakukan penyesuaian harga. Sebab, harga yang bercantum di katalog merupakan harga resmi sesuai ketetapan pemerintah. Imbasnya, untuk menaikkan harga guna mengganti tagihan di BPJS yang macet, tidak memungkinkan.

“Kan harga sudah ada di katalog. Tidak bisa di tengah jalan, lalu kita mengubah harga begitu saja. Ini berbeda dengan pabrik yang punya produk di luar katalog, yang dijual bebas di pasaran. Mereka masih bisa memainkan itu untuk mendapatkan margin (keuntungan, Red)” kata Samsul.

Penjelasan yang sama datang dari Yoyok, selaku Kepala HRD & GA PT. Widatra Bhakti, Pandaan, Kabupaten Pasuruan. Meski tidak tahu secara pasti berapa perhitungan keuangan imbas dari defisit BPJS Kesehatan ini, dampaknya cukup terasa. Seperti halnya PT MJB Pharma, keputusan yang sama ia lakukan; mengurangi produksi.

“Ya cukup terasa juga di kami. Produksi juga kami kurangi,” ujarnya ketika dihubungi via telepon. Dampak dari pengurangan produksi itu, shift kerja karyawan juga ikut berubah. Jika sebelumnya kegiatan produksi dilakukan 24 jam x 6 hari kerja dengan 4 kelompok setiap harinya, saat ini hanya 5 hari kerja. Sabtu dan Minggu, tak ada kegiatan produksi di pabrik.

Nah, imbas dari pengurangan produksi itu, beban kerja karyawan menjadi berkurang. Akibatnya, sebagian pekerja pun terpaksa dirumahkan. Keputusan ini berlaku sejak 6 Oktober lalu hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Rabu, 20 November lalu, WartaBromo sempat menemui Nasihin, supervisor pabrik yang ikut dalam daftar karyawan yang di rumahkan itu.

“Saya tidak tahu bagaimana awalnya karena sebelumnya saya sedang cuti tiga hari. Saya tahu kalau sudah dirumahkan ya pas masuk habis cuti itu, sehari berikutnya,” terang Nasihin.

Berdasar data yang didapatnya, total ada 38 karyawan dari 700-an karyawan yang dirumahkan. Termasuk dirinya. Sebagian besar merupakan bagian produksi dengan masa kerja rata-rata di atas 10 tahun. “Informasinya sih ada tambahan lagi yang akan dirumahkan. Kalau tidak salah 10-an orang,” imbuhnya.

Nasihin sendiri terhitung sudah lebih dari 30 tahun bekerja di perusahaan yang merupakan kelompok bisnis Otsuka Group ini. Ia akan memasuki masa pensiun dua tahun mendatang. Sempat menjadi sekuriti di awal karirnya, ia lantas digeser ke bagian produksi sebelumnya akhirnya menjadi supervisor.

Sejak berdiri pada 1988 silam, belum pernah terjadi gejolak di dalam perusahaan. Termasuk, soal karyawan yang dirumahkan. Karena itu, ia pun merasa miris dengan kondisi pabrik saat ini. “Saya masuk dulu itu tidak sampai 100 karyawannya. Sekarang sudah 700 lebih, lha kok malah macet di BPJS uangnya,” ujar Nasihin.

Bagi Nasihin, imbas dari belum terbayarnya tagihan BPJS itu memang cukup parah. Bahkan, dari delapan mesin yang ada di perusahaannya, saat ini hanya satu-dua mesin yang masih beroperasi. Volume produksi yang sebelumnya bisa mencapai 9 juta pack setiap bulannya, kini hanya berkisar 2-3 juta pack.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.