Industri Farmasi Ikut ‘Sakit’ Imbas BPJS Kesehatan Defisit

3196
Neraca keuangan BPJS (Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial) Kesehatan yang mengalami defisit membuat sejumlah pihak kalang kabut. Bukan saja manajemen rumah sakit yang harus adu siasat agar tidak tekor, industri farmasi kini ikut-ikutan sakit karena tagihan tak kunjung dibayar.

Laporan Mochammad Asad

INDUSTRI farmasi nasional seharusnya lebih sehat begitu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) awal 2014 silam. Sebab, permintaan akan obat-obatan semakin meningkat. Tetapi, nyatanya tidak. Alih-alih makin sehat, pabrik-pabrik yang memasok obat itu, sebagian diantaranya kini justru sakit-sakitan.

Penyebabnya satu; defisit keuangan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebagai pelaksana program JKN, ketidakseimbangan neraca keuangan antara cash in dan cash out BPJS Kesehatan membuat struktur keuangan perusahaan farmasi pincang lantaran banyak tagihan obat yang belum terbayar.

Angkanya pun terbilang cukup besar. Data laporan keuangan BPJS yang dirilis pada akhir 2017 silam mencapai Rp 10 triliun lebih. Dimana, total iuran peserta BPJS Kesehatan yang didapat dalam setahun sebesar Rp 74 triliun. Sementara beban pelayanan yang harus dibayarkan sebesar Rp 84 triliun. Dengan begitu, minus Rp 10 triliun lebih.

Imbas dari ketidakseimbangan neraca keuangan ini pun berdampak panjang. Bukan hanya rumah sakit yang harus kembali berhitung, merasionalisasi kebutuhan operasional mereka, menata ulang manajemen pelayanan, tapi juga kalangan industri farmasi. Sektor ini bahkan termasuk yang terkena dampak cukup parah.

Merujuk pernyataan Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi (GP Farmasi) yang dikutip sejumlah media, sampai saat ini, total tagihan yang belum terbayar oleh BPJS mencapai Rp 6-7 triliun lebih. Celakanya, sebagian tunggakan itu sudah berlangsung hingga setahun.

“Kalau dihitung-hitung, total tunggakan yang belum terbayar sekitar Rp 6-7 triliun. Dan yang sudah terbayarkan sekitar 6 persen saja,” terang Ketua Umum GP Farmasi, F. Tirto Kusnadi, seperti dikutip dari situs GP Farmasi.

Patut diketahui, GP Farmasi merupakan induk organisasi badan usaha yang bergerak di bidang obat-obatan. Selain perusahaan farmasi yang berjumlah sekitar 200 perusahaan, di dalamnya juga ada ribuan apotek dan juga distributor obat-obatan.

Menurut Tirto, dampak dari ketidakpastian pembayaran itu pun dipastikan menggangu aktivitas perusahaan farmasi lantaran tagihan macet. Bahkan, sejumlah perusahaan farmasi kini mulai mengambil langkah agar roda perusahaan terus berjalan.

Masih menurut Tirto, meski industri farmasi tidak menjual obat itu secara langsung kepada BPJS Kesehatan, akan tetapi, ketika BPJS menunggak pembayaran klaim dari rumah sakit, secara otomatis rumah sakit juga tidak bisa melunasi tagihan obat. Dengan begitu, pemasuka perusahaan pun menjadi tersendat.

Untuk mengetahui lebih jelas seberapa jauh dampak defisit BPJS terhadap aktivitas industri farmasi ini, tengah November lalu, WartaBromo menyempatkan diri untuk ngobrol dengan A. Samsul. Yang bersangkutan merupakan manager engineering PT. MJB Pharma, perusahaan penghasil infus yang berlokasi di Purwosari, Kabupaten Pasuruan.

Dikatakannya, dampak dari macetnya pencairan klaim tagihan BPJS itu cukup dirasakan perusahaannya. “Kami slowdown, ada pengurangan produksi,” terangnya. Menurut Samsul, kebijakan untuk mengurangi kapasitas produksi itu sudah berlangsung sejak tiga bulan terakhir.

Alasannya, perusahaannya kesulitan membeli bahan baku lantaran tagihan yang macet itu. Padahal, sebagian bahan baku dibeli dari luar negeri alias impor. Karena itu, satu-satunya jalan adalah dengan mengurangi produksi. Meski dengan risiko kehilangan margin keuntungan.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.