Rustono telpon ibunya. Minta diajari cara bikin tempe. Juga minta dikirimi ragi. Bahan kimia alami. Yang bisa membuat kedelai menjadi tempe.
Hambatannya jelas: tidak ada daun. Tapi di Jawa pun tempe sudah bisa dibuat dengan bungkus plastik.
Ia coba bikin tempe yang pertama. Ia beli kedelai 2 Kg. Ia rebus. Ia injak-injak. Seperti di desa. Untuk menghilangkan kulit arinya.
Dua hari kemudian ia lihat hasilnya: gagal total.
Tak terhitung petunjuk ibunya. Lewat telepon. Tapi tetap saja gagal.
Ibunya lantas ingat tetangganya. Pak Sidik. Yang penghidupannya membuat tempe.
”Pak Sidik itu kok menyelimuti tempenya dengan kain ya?,” ujar sang ibu. Sambil memberikan nomor telepon Pak Sidik.
”Apa fungsi kain penutup itu?,” tanya Rustono pada ahlinya itu.
”Agar bakal tempenya dalam suhu yang hangat,” jawab sang ahli.
Pantesan, kata Rustono dalam hati, ini kan bulan Oktober. Udara mulai dingin. Mana bisa hangat.
Apalagi bulan-bulan berikutnya lebih dingin. Lalu bersalju. Di kampungnya itu bisa minus 15 derajat. Di bulan Januari.
Rustono pun berangkat ke toko. Beli selimut listrik. Untuk menyelimuti tempenya.
Hasilnya? Membaik. Tapi tetap saja tidak sempurna. Ia terus membuang tempenya. Sehari 2 kg.
Rustono terpaksa mencari pekerjaan paro waktu. Untuk bisa dapat penghasilan. Mertuanya tahu di mana Rustono bisa bekerja seperti itu: di tempat pemasok toko kuenya. Sang mertua memang punya toko kue. Ada pabrik kue yang selalu memasok tokonya. Khususnya kue dorayaki. Yang seperti serabi. Yang ada kacang merah lembut di dalamnya.
Rustono bekerja serius di situ. Sambil belajar bikin usaha. Juragannya senang sekali. Seperti juga bos lamanya. Saat ia masih bekerja di hotel Sahid Jogja.
Bos kue dorayaki itu mau mengajarinya. Setidaknya Rustono akan bisa produksi dorayaki. Kalau tempenya terus saja gagal.
Tapi Rustono bukan orang yang mudah menyerah.
Tsuruko menepati janji: ini masa awal yang sulit bagi suaminya.(*/ bersambung)