Probolinggo (wartabromo.com) – Dekade 90-an, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo dikenal sebagai salah satu penghasil tembakau Kasturi. Diterpa problem pemasaran, Kasturi Bromo terancam mati suri, meski hasilnya sangat menggiurkan.
Tembakau Kasturi sendiri, tidak dirajang seperti tembakau Paiton dan Menyono, melainkan diproses dalam bentuk krosok (daun utuh kering). Daun yang matang kemudian disujen (tusuk), dengan isi 4-5 lembar daun tembakau. Selanjutnya diperam selama 2 hari agar warna tembakau menjadi cerah. Pasca itu, daun tembakau dijemur sekitar 10-12 hari untuk maksimalkan warna dan kualitas.
“Kalau sudah kering total, kemudian didinginkan semalam supaya tidak keropos. Selanjutnya menyortir tembakau (racak) berdasarkan warna, ukuran dan kualitas tembakau. Kalau sudah terpilah-pilah, lantas dibal untuk dijual ke pedagang dari Jember,” tutur Ngatulam (50), petani tembakau Kasturi, Selasa (6/11/2018).
Di tingkat petani, harganya mencapai Rp. 30 ribu per kilogram. Dengan harga saat ini, budidaya tembakau Kasturi sangat menjanjikan hasilnya. Sebagai contoh lahan miliknya seluas 2,5 hektar, mampu menghasilkan 3,75 ton tembakau. Dengan asumsi harga Rp 30 ribu, maka ia mendapat penghasilan kotor sebesar Rp 112, 5 juta.
“Dipotong biaya-biaya, sisanya masih banyak. Cukup untuk menghidupi keluarga. Tidak perlu kerja di luar lagi, cukup ngopeni ladang,” ungkap petani asal Desa Kedasih itu.
Sayang, saat ini banyak petani yang enggan menanamnya. Sebab, terkendala pemasaran. Dimana tidak ada gudang tembakau atau perusahaan yang bersentuhan dengan petani. Mereka hanya mengandalkan pedagang asal Jember.
“Puluhan tahun yang lalu, Kecamatan Sukapura dikenal sebagai penghasil tembakau krosok Kasturi. Namun sekarang banyak petani yang enggan menaman tembakau Kasturi. Sebab kesulitan dalam pemasaran. Kalau dulu langsung diambil oleh Djarum, sekarang hanya mengandalkan tengkulak dari Jember. Itu terkadang dihutang dan gak dibayar,” kata Kepala Desa Kedasih, Suriyanto.
Saat ini pertanian tembakau Kasturi hanya diusahakan oleh petani di dua desa, yakni Kedasih dan Pakel. Luasnya hanya sekitar 14 hektar, Kedasih 10 hektar dan pakel 4 hektar. Padahal pada era 80-90an, luas lahannya lebih dari 200 hektar. Diusahakan petani di 6 desa, yakni Sukapura, Kedasih, Pakel, Sariwani, Sapi Kerep dan Wonokerto. Dengan produktivitasnya 1,5 ton per/ha, maka dalam 1 tahun mampu menghasilkan 300 ton tembakau Kasturi.
“Karena itu, kami berharap pemerintah daerah, bisa menjembatani petani. Agar ada perusahaan rokok yang mau membeli langsung ke petani, sehingga petani kembali bergairah. Selain itu, Kasturi Bromo ini tidak punah karena tidak lagi dibudidayakan oleh petani,” harap Suriyanto. (saw/saw)