Cerita Dua Bersaudara, Santri Ngalah Asal Singapura

4739
“Saya juga pernah terserang penyakit gudikan, penyakit khasnya pondok (penyakit kulit),”

Laporan Ardiana Putri

DARI ribuan santri Pondok Pesantren Ngalah-Sengonagung, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, terdapat dua santri asal Negeri Singapura yang juga mondok di sana. Kebetulan, dua santri itu merupakan kakak beradik. Hampir dua tahun mereka mondok di ponpes asuhan KH. Sholeh Bahruddin itu.

Siti Fatimah, sang kakak, masuk ke Ponpes Ngalah sejak dirinya masih duduk di kelas 8 menjelang kenaikan kelas. Sedangkan sang adik, Shaqirin kala itu baru menginjak kelas 7.

Hebatnya, belum genap dua tahun, mereka telah fasih berbahasa Jawa. Bahkan aksennya pun terkesan medhok. Bahasa Jawa yang mereka gunakan adalah Bahasa Jawa Krama, bahasa yang tak semua orang Jawa sendiri pun mampu melafalkannya.

Awalnya, mereka mondok di Ngalah atas rekomendasi sang ibu. Menurut ibu mereka, Ponpes Ngalah merupakan pondok yang bagus untuk anak-anaknya menimba ilmu. Lantaran hal tersebut, kakak beradik inipun akhirnya yakin untuk merantau ke Indonesia.

“Ibu menyarankan agar kita mondok di sini, bagus katanya. Kebetulan ada teman ibu juga yang tinggal di dekat sini,” ujar Fatimah.

Fatimah sempat bingung saat kali pertama masuk ke kelas Madin. Beberapa santri lain tiba-tiba menyerbunya saat dirinya sedang berada di kelas bersama kawannya yang lain. “Segerombolan santri lain menghampiri saya, sampai bingung jadinya. Itu terjadi 3 hari berturut-turut,” terangnya antusias.

Lain cerita dengan Shaqirin. Ia bahkan sempat dua kali terserang penyakit gudikan, sejenis penyakit kulit. “Saya juga pernah terserang penyakit gudikan, penyakit khasnya pondok (penyakit kulit). Sampai tidak bisa nulis dan saking parahnya susah duduk.” keluhnya sambil tersenyum.

Ia juga mengaku saat pertama kali datang, dia dan kakaknya masih berbahasa Melayu. Karena aksen bahasa itulah, sampai-sampai santri yang lain menertawakannya.
Dulu, Saat masih proses beradaptasi, mereka berdua mengaku kesulitan ketika hafalan.

Tonton Videonya di sini

“Awalnya dulu susah saat hafalan Nadhom. Saya juga kesusahan menulis pego terus dibantu sama mbak-mbak tapi lama kelamaan bisa,” terang Fatimah.

Seperti para perantau lainnnya. Mereka berdua tak luput dari rasa rindu akan kampung halaman. Mereka mengaku hanya bisa pulang dua kali setahun, saat Idul Fitri dan Maulid Nabi. Kakak beradik ini, hanya bisa bertegur sapa dan melepas rindu lewat sambungan telepon seluler.

Suka duka selama menjadi santri di Ngalah memang dirasakan santri dan santriwati asal negera tetangga ini. Namun keduanya mantap, bahkan merasa bangga karena menjadi bagian dari santri Indonesia. (*)

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.