Sejak puluhan tahun lalu, Desa Pendil, Kecamatan Banyuanyar, dikenal sebagai sentra pandai besi. Berbagai peralatan pertanian seperti kapak, golok, patik, cangkul, sabit atau peralatan pertanian lainnya, diproduksi oleh pengrajin. Di saat banyak pandai besi gulung tikar, tergerus jaman, di desa ini malah mampu bertahan dan berkembang baik. Apa rahasianya???
Laporan Muhammad Choirul Efendi, Probolinggo
DESA Pendil adalah salah satu desa di ujung utara Kecamatan Banyuanyar, Probolinggo. Di desa ini, ada 11 pandai besi yang sudah membuka usahanya sejak puluhan tahun lalu. Mereka adalah Jumali alias Jali, Sugianto, Ahmad, Madra’I, H. Sahed, dan Suryo. Kemudian ada Supriyadi, Main, Subairi, Misran dan Djamiko. Rata-rata para pandai besi ini, mempunyai pekerja minimal 5 orang. Sebanyak 5 pandai besi, berada di Dusun Mangar, selebihnya terpencar.
“Kami bertahan di usaha ini, karena mengutamakan dan mempertahankan kualitas. Meski harganya agak mahal dibanding produk dari pabrikan atau luar negeri, konsumen tetap mencari produk kami. Itu salah satu keunggulan kami yang terus kami pertahankan sejak dulu. Kami sendiri selalu berbagi ilmu dengan lainnya, agar produk yang dihasilkan semakin berkualitas,” kata Jali, salah satu pandai besi.
Selain mempertahankan kualitas, agar lebih kompetitif, pihaknya juga menerapkan teknologi tepat guna (TTG) buatannya sendiri. Yakni, alat tempa buatan sendiri yang dirancang untuk meringankan pekerjaan. “Kalau membeli alat penempa buatan pabrik sangat mahal dan memiliki daya tempa yang masih kurang kuat. Jika dibuat sendiri, maka dapat mengukur kebutuhan kekuatan daya tempanya,” kata pria kelahiran tahun 1975 ini.
Ia menuturkan keahlian mereka rata-rata diturunkan dari orang tua atau sanak saudara lainnya. “Saya misalnya, sudah mengenal dengan dunia pandai besi sejak kecil. Pengolahan besi berada di samping rumah. Waktu kecil sering melihat ayah membuat parang dan sabit. Karena terbiasa lihat, nyoba-nyoba, ternyata bisa. Akhirnya, saya melanjutkan usaha ini,” tuturnya.
Suami dari Ucik Fauziah ini menuturkan, baru terjun sebagai pandai besi pada 2002 lalu, melanjutkan usaha ayahnya, Suparjo. Sejak berdiri hingga sekarang, Jali menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak mengubah cara membuat benda-benda tersebut. Dia mempertahankan resep dari orang tua. Hanya saja, kerbus (katup pompa) dari dua kayu, kini diganti blower (pompa listrik). Namun untuk arangnya selalu menggunakan arang dari kayu jati.
Dalam sehari, 29 arit dan 24 cangkul mampu dihasilkan dari tempat kerjanya. Tak hanya membuat, para pandai besi itu juga melayani perbaikan alat pertanian milik warga. “Kalau bahan baku, biasanya ambil di rongsokan atau pengepul besi tua. Ada juga yang ambil di pasar loak Surabaya. Kalau ambil besi atau baja baru, mahal harganya. Ndak nutut kalau dijual kepada petani,” kata ayah 2 anak ini.
Meski jauh dari pusat kecamatan, bukan berarti pandai besi di Desa Pendil, tak mendapat perhatian dari pemerintah kecamatan. Camat Banyuanyar Didik Abdur Rohim sering memonitoring perkembangan pandai besi. Terutama pemanfaatan TTG.
“Kami sering mengikutkan mereka dalam pameran-pameran. Tujuannya apa? Ya agar produk mereka semakin dikenal luas. Dengan harapan, pengguna semakin banyak dan memacu produksi mereka. Sehingga menyerap tenaga kerja yang lebih banyak lagi, artinya pengangguran dapat dikurangi,” terang Camat Didik.
Jangkauan penjualan hasil kerajinan pandai besi Pendil, tak hanya dinikmati oleh warga Kabupaten Probolinggo saja. Saat ini, petani di beberapa daerah di Tapal Kuda, bahkan Madura memesan karya pandai besi Desa Pendil. (*)