Teh Klaras Khas Probolinggo Tembus Negeri Jiran

2472

 

Sudah lama Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, dikenal sebagai penghasil pisang terbaik. Di balik itu, ternyata menyisakan sampah berupa daun pisang (klaras, bahasa Madura) yang dibuang begitu saja. Nah, ditangan Abdul Mukti, warga Desa Nogosaren, klaras itu dijadikan ekstraks minuman herbal. Inovasi itu, tak hanya laku keras di dalam negeri, bahkan sudah merambah ke Negara Malaysia.

Laporan : Muhamad Choirul Efendi, Probolinggo.

SEPULANG dari merantau ke pulau Kalimantan, Abdul Mukti (46) mencoba beberapa eksperimen ‘unik’. Salah satunya dari bahan limbah pisang, seperti bongkol dan daun (klaras) yang banyak tersebar di sekitarnya. Yang pertama menjadi eksperimen adalah bongkol pisang yang dijadikan sebagai krupuk.

Inovasi pada 6 tahun lalu itu, dibilang gila oleh warga sekitarnya yakni RT 1 RW 1 Dusun Krajan. Mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Bahkan istrinya sendiri, Kamaliatul Hidayati, pun tak percaya dengan inovasinya itu.

Masa percobaan Mukti berlangsung cukup lama. Dia ingin membuat produk yang tidak gampang ditiru oleh produsen lain. Oleh sebab itu, ia mengedepankan naluri dalam membuatnya. Apalagi Mukti tidak mau menggunakan pewarna makanan, pemanis buatan dan bahan pengawet.

“Dulu saya itu memang sudah niat buat produk dari limbah pisang. Karena di sini sangat banyak pohon pisang. Setiap habis panen; pohon, daun sampai bongkolnya dibuang. Saya ingin limbah itu dimaksimalkan,” terang Mukti.

Eksperimen lebih ‘gila’ dilakukan pada daun pisang. Dari awal Mukti berpikir bahwa daun pisang kering bisa dijadikan minuman, selayaknya teh. Kegagalan menciptakan produk ini terjadi berkali kali. Tetapi Mukti tidak menyerah. Siapa sangka? Ternyata eksperimennya itu menciptakan produk unggulan inovatif, yaitu kerupuk dari bongkol (akar umbi-umbian) Pisang dan minuman layaknya teh dari daun pisang kering.

“Ternyata membuat minuman seduhan dari Klaras itu sulit, harus spesifik. Bahkan salah pola dan waktu penjemuran saja, rasanya tidak akan enak dan warnanya kurang bagus,” katanya.

Dia menilai, pola konsumsi masyarakat semakin lama akan beralih ke produk alami. Bongkol pisang dan daun pisang diyakini bisa menyebuhkan asam lambung, penurunan panas dalam, hingga diare.

“Saya ingin usaha ini tidak hanya berguna untuk saya, tetapi untuk masyarakat luas. Saya ingin menyerap lebih banyak tenaga kerja dari para tetangga, dan juga memberikan manfaat kesehatan bagi para pembeli,” ungkap pria yang juga ketua BPD desa tersebut.

Setahun lalu, Mukti mengurus Perijinan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Label usahanya diberi nama ‘Mak Taoh’ (Madura; kok bisa tahu). Sari klaras ini, oleh Abdul Mukti dikemasan dalam bentuk celup, mirip kemasan teh. Satu paket kemasan berisi 10 bungkus kecil, dijual seharga Rp 12.000. Kemudian kerupuk bonggol pisang ukuran 100 gram Rp 10.000, kerupuk bonggkol pisang mentah ukuran 500 gram dijual seharga Rp. 20 ribu. Sedang keripik pisang rasa berdenyut kemasan 150 gram Rp 6.000.

Setiap harinya, rata-rata Mukti bisa membuat hingga 150 bungkus setiap jenis produknya. Khusus sari klaras, dalam sebulan setidaknya 500 kemasan berhasi diproduksi. Omsetnya sekitar Rp. 8 juta dalam sebulan. Pemasarannya selain di sekitar Probolinggo, juga sudah merambah ke Bali, Lombok, Padang dan Jakarta. Bahkan sudah merambah ke negeri jiran, Malaysia.

Camat Gading Zainuddin, mengatakan inovasi-inovasi dengan memanfaatkan limbah di sekitarnya, perlu didukung penuh oleh pemerintah daerah. Sebab memacu tumbuh-kembangnya usaha micro kecil menengah (UMKM) di Kabupaten Probolinggo. Apalagi sektor ini, terbukti berperan besar bagi perekonomian di Indonesia.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.