Oleh: Dendy Arifianto
DUNIA ini begitu luas dengan berbagai macam bentuk kehidupan di dalamnya. Dan, manusia adalah salah satu macam dari isi dunia ini. Tentu, dengan ragam keunikannya masing-masing. Mulai dari ras, suku, bahasa, bentuk tubuh, hingga yang tak kasat mata, seperti ideologi.
Nah, akhir-akhir ini sering didengar orang-orang mendengungkan disabilitas. Istilah tersebut muncul dari sebuah konvensi Internasional tentang hak orang dengan disabilitas. Munculnya konvensi itu dikarenakan anggapan, bahwa manusia dengan disabilitas mengalami pengucilan atau bullying, sehingga mereka merasa, dunia bukan tempat untuk para disabilitas. Padahal para penyandang disabilitas juga terlahir dari rahim seorang manusia.
Untuk mengakali diskriminasi tersebut. Terdapat orang-orang pilihan yang secara sukarela membantu para penyandang disabilitas. pendamping atau volunteer julukan mereka.
Para pendamping senantiasa bertugas memberikan pelayanan bagi penyandang disabilitas, agar mereka dapat menjangkau hidup tanpa diskriminasi. Contohnya, dalam pendidikan, kita dapat melihat Universitas Brawijaya dengan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) telah bersumbangsih menghapus kekhawatiran para penyandang disabilitas dalam menjangkau pendidikan tinggi.
PSLD Universitas Brawijaya menyediakan pendamping bagi disabilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mereka pada saat proses belajar mengajar. Ketika aksesibilitas fisik belum terpenuhi, pilihan yang paling mujarab adalah aksesibilitas non-fisik bagi disabilitas.
Meski terdapat fasilitas pendampingan di hampir setiap kampus di Indonesia, pekerjaan rumah bagi disabilitas maupun pendamping masih sangat banyak. Pasalnya, sebagai manusia difabel atau disabilitas, memiliki keunikan yang variatif, sehingga dalam mendampingi mereka diperlukan ekstra kesabaran dan kecekatan serta keuletan yang lebih besar dari biasanya.
Kontrak antara disabilitas dengan para pendampingnya, bukanlah semata-mata seperti juragan dengan pembantunya, melainkan seperti kakak dan adik atau partner yang solid. Faktanya, terkadang disabilitas memanfaatkan momentum itu, seperti atasan dengan bawahannya. Contohnya, saya pernah datang terlambat dan memarahi pendamping saya karena dia datang duluan. Hal itu merupakan contoh yang buruk dan tidak pantas untuk ditiru.
Sebagai tunanetra, saya membutuhkan pendamping agar lebih mobile pada saat bimbingan skripsi, mengerjakan tugas di luar, membaca buku di perpustakaan, sekedar membuat tulisan, atau bersantai di sebuah warung kopi, karena memang akan lebih nyaman jika ditemani seorang pendamping ketimbang sendirian.
Bersama pendamping, saya mendapat teman untuk mengobrol atau mendeskripsikan sesuatu yang biasanya pendamping lihat. Hal itu menambah pengetahuan dan wawasan tentang yang terjadi di sekitar.
Selain itu, didampingi oleh seorang pendamping, menambah empati saya sebagai seorang manusia. Maka, mengertilah sedikit saja, bahwa pendamping juga sama halnya seperti manusia biasa, begitu pula dengan disabilitas.
Menjadi disabilitas bukan berarti harus dimengerti, adalah sesuatu yang lebih mulia jika disabilitas lebih mengerti non-disabilitas.
Sudah saatnya para difabel merubah diri menjadi lebih baik lagi. Berpikir objektif dan lebih peka terhadap sekitar merupakan kunci yang harus saya miliki untuk menciptakan kontrak batin dengan asas loyalitas tanpa batas.
Pendamping adalah suatu profesi yang sering menghadapi kejutan. Pasalnya, banyak pendamping yang mengalami perundungan sehingga membuatnya tidak nyaman. Hal itu terkadang dilakukan oleh seorang penyandang disabilitas, seperti contoh di atas. Oleh karena itu, pendamping akan merasa ragu atau tidak nyaman ketika mendampingi saya dalam proses belajar mengajar.