Probolinggo (wartabromo.com) – Suku Tengger Brang Wetan, melaksanakan upacara Yadnya Karo yang dipusatkan di Balai Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Selasa (28/8/2018). Dalam acara itu ditampilkan Tari Sodoran, yang mempertemukan 2 Ratu pada sebuah perjamuan untuk melestarikan keturunan trah Majapahit
Diawali dengan ritual Tari Sodoran, Suku Tengger Bromo kembali menggelar Yadnya Karo. Tari Sodoran sendiri merupakan ritual tradisi sakral, yang melambangkan pertemuan dua bibit manusia yakni, laki-laki dan perempuan yang disebut Ratu. Dari kedua ratu itulah, dimulailah kehidupan alam semesta. Pada perayaan Karo kali ini, dilakonkan oleh Ki Petinggi Jetak, Kermat dan Petinggi Wonotoro, Mistaman.
“Dalam gelaran tari Sodoran, Ratu tidak selalu berkonotasi perempuan, bisa laki-laki. Tari ini, merupakan salah satu inti dari perayaan Yadnya Karo atau Hari Raya Kedua. Dimana ritual ini, merupakan wujud rasa syukur warga Tengger terhadap leluhur,” ujar Bambang Suprapto, salah satu tokoh agama Suku Tengger kepada wartabromo.com.
Dalam tarian itu, masing-masing penari membawa sebuah tongkat bambu berserabut kelapa yang didalamnya terdapat biji-bijian dari palawija. Namun, sebelumnya, para temanten itu mengikuti ritual memohon pangestu punden atau restu pemilik makam. Setelah itu, temanten diarak menuju balai Desa Wonotoro.
“Pertemuan antara laki dan perempuan, ini yang menjadikan manusia pertama. Bagi kalangan masyarakat suku Tengger, biji-bijian yang dipecahkan dari dalam tongkat itu, dipercaya akan memberikan kelestarian keturunan bagi setiap pasangan,” tutur pria yang menjabat sebagai ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo ini.
Upacara Yadnya Karo merupakan hari raya terbesar masyarakat Tengger dikatakan memiliki darah keturunan Kerajaan Majapahit. Sebelum tari Sodoran, terlebih dahulu dilakukan pembacaan mantra. Kemudian Jimat Kelontongan dimandikan diiringi dengan tari Sodoran, sebagai bagian terpenting dari rangkaian upacara Karo. Jimat Kelontongan merupakan sekumpulan benda keramat.
Upacara dilanjutkan dengan ritual Tumpeng Gede sebagai wujud perasaan syukur dangan hasil panen yang melimpah dan dianugerahi tanah yang subur. Tumpeng-tumpeng tersebut dikumpulkan dari warga, lalu dimantrakan oleh dukun adat desa setempat. Pasca itu, dibagi-bagikan kembali kepada warga untuk digunakan sebagai Sesandingan. Ritual Sesandingan inilah menjadi pamungkas dari Karo.
“Ritual-ritual ini, menjadi salah satu unsur budaya yang cukup menarik. Sehingga perlu kami branding untuk menarik wisatawan yang berkunjung ke Bromo. Mereka tidak hanya mendapatkan pemandangan eksotik Gunung Bromo saja, tetapi juga bisa menikmati ritual budaya yang hanya ada di waktu-waktu tertentu saja,” ungkap Camat Sukapura, Yulius Christian.