Oleh: Maya Rahma
Dunia maya itu serba cepat. Dunia maya yang itu loh, internet. Gak percaya? Coba deh sekarang transfer pakai internet banking sama transfer lewat mesin ATM. Lebih cepat mana? Kalau bilang lebih cepat ATM karena koneksi intenet lemot, ya jangan ngomong lagi deh. Salah siapa pakai provider lemot.
Tapi bukan itu pointnya. Ini hal baru. Atau mungkin saya yang baru tahu?
Gini. Ada kecelakaan, tabrakan, peristiwa penting, terus ada korban di sana. Ada warga di sekitarnya, mereka kaget kan? Langsung mendekati lokasi kejadian. Apa yang selanjutnya mereka lakukan? Menolong korban? Iya. Tapi dulu, sebelum ada si “maya” ini. Kalau sekarang, mengeluarkan handphone. Jeprat jepret, rekam sana sini, upload sosial media.
Lho lho, sok tahu ah ini penulisnya. Ya bukan sok tahu. Saya cuma menyimpulkan dari melihat foto kiriman rekan. Disana ada tabrakan, terus banyak orang yang berkerumun. Beberapa tangan ke atas, nih berusaha menjangkau lokasi dengan memegang handphone. Sempat cengo, terus mbatin. Kok jadi gini? Jangan-jangan bentar lagi kerjaan wartawan tergeser nih.
Tapi saya positif thinking, setelah mereka selesai melakukan “pendokumentasian”, mereka langsung menolong korban.
Memang tidak semua melakukan hal seperti itu, maksudnya mengabadikan gambar saat peristiwa berlangsung. Tapi, sepertinya kebanyakan demikian.
Sejujurnya kami sebagai wartawan ya sedikit berterimakasih. Karena berkat “pendokumentasian” oleh warga, kalau bahasa kerennya citizen journalism ini, pekerjaan kami lebih ringan. Meski tugas kami jadi bertambah. Ini jadi point plus bagi wartawan. Kami dapat berita dari sisi warga yang biasanya berjudul “viral”, ditambah lagi kroscek peristiwa itu ke pihak-pihak terkait. Ya, meluruskan yang beredar lah bahasanya.
Ini dari segi wartawan, namun dari segi sosialnya, ya gimana ya. Begini, ada orang terkena musibah, terus orang lain tidak segera membantu, mereka malah mengambil gambar, asal jepret, share.
Pertama, si korban tak segera ditolong, berakibat semakin parahnya keadaan korban (baik korban dalam bentuk orang, hewan, maupun benda). Kedua, hasil foto terkadang tidak menunjukkan rasa welas. Seperti jika ada korban pembunuhan, begal, kecelakaan yang berdarah-darah. Itu di bagikan begitu saja. Tanpa sensor, dilihat banyak orang. Pernah terpikir bagaimana perasaan keluarganya? Atau bahkan si korban, dan orang yang melihat itu?
Dimana rasa welas kita sekarang?
Tidak, tidak menyalahkan kok. Ini hanya bentuk ungkapan. Bukan terlalu sok benar. Anggap saja ini hanya opini yang berharap ada manfaatnya gitu.
Kalau standart tipis-tipis pewarta nih, jika ada kejadian, duarrrr.. kami foto seperlunya, video tipis-tipis juga, sekiranya itu video sesuai standart redaksi dan aturan-aturan yang ada. Menolong korban dalam pikiran kami itu dengan sensor yang tidak pantas, bahkan menyamarkan identitas si korban.
Yah, yang jelas, semoga pekerjaan kami, sebagai pewarta tidak tergeser lah.
Mari liputan lagi. (*)