Sempat drop karena hilang penglihatan, Dendy akhirnya kembali menemukan semangatnya untuk kembali ke bangku kuliah. Ia pun berhasil lulus dengan indeks prestasi mengagumkan.
Laporan M. Asad Asnawi
Berkat pendampingan dari PSLD, Dendy akhirnya bisa melanjutkan kuliahnya. Pada akhir Desember 2016 lalu, Dendy bahkan lulus dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang cukup mengagumkan. Yakni, 3,53.
“Ini jadi bukti bahwa kami juga masih bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya,” seloroh Dendy bangga.
Keberadaan PSLD sendiri merupakan fasilitas yang diberikan kampus kepada mahasiswa penyandang disabilitas. Selain Dendy, ada banyak penyandang disabilitas yang juga mendapat pendampingan dari lembaga ini. Kini, setelah lulus kuliah, Dendy pun banyak meluangkan waktunya dengan menjadi fasilitator atau motivator kaum difabel.
Baca juga Dendy Arifianto, Berbagi Cerita Ketika Tiba-Tiba Hilang Penglihatan
Selain itu, ia juga aktif dalam program “Ayo Inklusif” yang digagas Saujana. Juga menulis artikel dan tercatat sebagai pengurus Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Pasuruan. Satu karyanya berjudul “Menjelajah Belantara Baluran” bahkan pernah dimuat di salah satu media cetak nasioal.
Dendy menjelaskan, ada banyak persoalan yang menyangkut kaum difabel. Yang paling jamak, adalah perlakuan diskriminatif. Dikatakan Dendy, negara memang telah membuka ruang yang begitu besar bagi para difabel untuk agar mendapat perlakuan sama dengan kelompok masyarakat lain. Akan tetapi, nyatanya, praktik diskrimasi masih banyak dijumpai disana-sini.
Pengalaman ketika ia melakukan pendampingan terhadap siswa yang ditolak masuk sekolah SMA negeri di Malang lantaran berstatus tunanetra adalah contohnya. Beruntung, berkat pendampingan yang dilakukannya, ia akhirnya bisa diterima.
“Pemerintah memang sudah membuka ruang dengan hadirnya sekolah-sekolah inklusi agar tidak ada diskrimasi terhadap para difabel. Tapi nyatanya, tidak semua sekolah mau menjalankan itu. Bahkan sekolah berstatus sekolah inklusi sekalipun,” jelas Dendy.
Artinya, lanjut Dendy, semangat agar tidak ada diskriminasi terhadap difabel oleh pemerintah belum diikuti penuh oleh perangat yang dibawah. Hal itu pula yang secara tidak langsung menjadikan kaum difabel memilih menepi.
“Belum lagi soal pekerjaan. Berapa banyak perusahaan yang memberi kesempatan kaum difabel untuk bekerja?” kata Dendy.
Dendy menuturkan, kemajuan teknologi saat ini sejatinya banyak membantu para difabel. Termasuk penyandang tuna netra. Sayangnya, di kalangan masyarakat, masih terdapat anggapan bahwa teknologi hanya dapat diakses secara visual. Dengan begitu, mereka yang tidak mampu melihat secara visual, tidak bisa mengaksesnya.
Bagi Dendy, pemahaman tersebut keliru. Bagaimana ia ketika belajar menggunakan gawai dan laptop adalah bukti bahwa para tuna netra seperti dirinya pun, masih bisa memanfaatkan teknologi.
“Tidak ada perbedaan kalau untuk penggunaan teknologi seperti gawai maupun laptop. Mereka yang normal, memakaiya dengan melihat. Orang-orang seperti kami, bisa dengan menggunakan suara,” jelasnya.
Meski terkesan agak ribet, bagi orang seperti Dendy, hal itu sudah biasa. Dengan cara itu pula ia bisa mengerjakan tugas kuliah hingga akhirnya lulus Desember 2016 silam. Bukan itu saja. Dendy juga tidak merasa kesulitan ketika harus mengakses internet, menulis artikel. Bahkan, salah satu artikelnya yang berjudul Menjelajah Belantara Baluran pernah terbit di salah satu media cetak.
Keberhasilan Dendy keluar dari jarum kehidupan banyak mendapat apresiasi. Selain didapuk sebagai pengurus Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Cabang Pasuruan, Dendy juga kerap diundang sejumlah forum kegiatan. Sekadang menjadi motivator bagi penyandang disabilitas lain, atau menjadi narasumber.