Akhir April lalu, dirinya diundang ke Jember guna menjadi pembicara pada pertemuan para disabilitas di sana. Lalu, pada awal Mei, ia terbang ke Bandung untuk menghadiri kegiatan yang disponsori oleh USAID.
Menurut Dendy, perkembangan teknologi digital saat ini banyak membantunya. Bahkan, diakuinya, sebagian besar aktivitas harian yang dilakukannya, tak bisa lepas dari teknologi. Utamanya teknologi pembaca layar. Seperti chat via handphone, hingga mengetik di komputer atau laptop.
Dijelaskan oleh Dendy, banyak aplikasi digital yang saat ini bisa dimanfaatkan para tunanetra agar tetap bisa mengembangkan diri. Sebut saja urusan baca buku. Jika tidak bisa menemukan buku bacaan dalam versi suara, saat ini sudah ada aplikasi yang bisa dipakai untuk membaca buku versi cetak.
Caranya gampang. Yakni, dengan memotret teks buku versi cetak yang ingin dibaca. Selanjutnya, hasil jepretan yang tertangkap oleh kamera smartphone tersebut akan terbaca oleh program. Jika pun ada syarat lain, adalah dukungan koneksi internet yang baik. Sebab, jika tidak, proses pembacaan teks oleh software akan memakan waktu yang relatif lama.
Dikatakan Dendy, hingga kini assistance technology for the blind itu terus berkembang. Harapannya dengan adanya teknologi tersebut bisa menjadikan tunanetra melewati segala keterbatasan visual yang dialaminya.
“Pada dasarnya, hakikat teknologi kan itu, memudahkan manusia untuk melangkah lebih efesien dan efektif dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
Karena itu, melihat perkembangan teknologi yang semakin canggih, bukan tidak mungkin, dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, para difabel tidak akan merasa menjadi difabel. Sebab, sudah ada teknologi yang memudahkan mereka.
Meski begitu, diakui oleh Dendy, lingkungan yang belum mendukung acapkali justru menjadi kendala bagi para difabel untuk berkembang. Misalnya saja soal urusan pekerjaan. Tidak banyak penyedia kerja yang memberikan kuota khusus kepada kaum difabel. Padahal, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah mewajibkan kuota 1 persen untuk swasta dan 2 persen untuk lembaga/intansi pemerintah, bagi kaum difabel ini.
Inilah yang menurut Dendy masih menjadi persoalan.
Secara umum, masyarakat masih melihat bahwa kaum difabel merupakan kelompok marjinal yang laik untuk dikasihani. Bukan pada wilayah bagaimana memberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuan yang dimilikinya.
“Ini masih terus coba kami perjuangankan,” jelas Dendy.
Saat ini Dendy sedang fokus mencari beasiswa S2. Satu program beasiswa dari salah satu kementerian sudah lolos di lalui di tahap pertama. Sekarang Dendy masih menunggu proses selanjutnya.
Dendy sendiri bukanlah satu-satunya orang yang hilang penglihatan tiba-tiba. Berdasar informasi yang didapat WartaBromo dari berbagai sumber, kasus ablasio retina di Indonesia cukup tinggi. Dalam setahun, rata-rata kasus ablasio retina mencapai 150 ribu kasus. Setiap penderita biasanya akan merasakan banyak banyangan pada bidang penglihatan. Selain itu, cahaya yang masuk serasa berkedip-kedip. (*)