Laporan: Sundari Adi Wardhana
BAGI suku Tengger, sesaji yang dilempar ke Kawah Bromo saat Yadnya Kasada sebagai bentuk kaul atau rasa syukur atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Di dalam kawah ternyata telah menunggu banyak pengemis dan penduduk Tengger yang tinggal di pedalaman.
Sejumlah warga berebut menangkap sesaji yang dilemparkan suku Tengger ke kawah Gunung Bromo, pada puncak perayaan Yadnya Kasada, Sabtu (30/6/2018). Mereka tidak mengenal rasa takut, meski tubuh mereka hanya beberapa meter saja dari mulut kawah. Apalagi, kemiringan bibir kawah nyaris sekitar 90 derajat, yang tentunya sangat riskan merenggut nyawa jika mereka tergelincir dan masuk ke dalam kawah.
Aktivitas mereka yang berada di kawah gunung Bromo dapat dilihat sejak malam hingga siang hari, sehari pasca upacara Yadnya Kasada Bromo. Mereka jauh-jauh hari sudah tiba, bahkan sengaja mendirikan tempat tinggal sementara di sekitar Gunung Bromo. Para pemberani ini berharap, mendapatkan ongkek-ongkek yang berisi sesajen berupa buah-buahan, hewan ternak, juga uang.
Salah satunya adalah Martuji. Pria tua hampir 70 tahun ini, menyulut kretek untuk mengusir dingin. Sudah seharian ia tinggal sementara di lereng kawah Gunung Bromo, bersama puluhan orang lainnya. Ia memilih membuat tenda darurat di bibir terluar kawah, samping beton pembatas atau keamanan
Beberapa meter di bawahnya, kawah yang erupsi mengeluarkan asap tebal bercampur abu vulkanik. Namun para pemburu rejeki atau disebut marit ini tak gentar berada di dalam kawah, berteman asap dan abu erupsi. Berbekal jas hujan tipis dan topi, Martuji beradu kecepatan tangan dengan rekannya menangkap sesajen yang dilempar warga Tengger, saat ritual Yadnya Kasada.
“Saya sudah puluhan tahun mengais rejeki dari ritual ini, nyatanya tidak pernah ada yang jatuh ke lubang kawah, aman-aman saja. Mereka yang paling beruntung. Pasalnya, kami tak bisa berlarian menyongsong sesajen, karena situasi dan juga banyaknya pemburu rezeki,” kata kakek dengan lima cucu ini.
Para penangkap rejeki ini memang harus terus siaga, terutama mata. Momen yang dipaling ditunggu adalah saat ada warga yang mempersembahkan ternak seperti kambing, domba, dan ayam. Pasalnya, saat seseorang melempar ternak, tak mungkin terlalu jauh, jadilah pelaku marit terdekat yang mendapatkan.
Sementara mereka yang berada paling dekat lubang kawah memilih rejeki berupa uang, dominan koin karena bisa terlempar lebih jauh. Nah, orang-orang yang terlihat lebih muda ini bisa bergerak lebih lincah menyongsong uang atau ayam karena barisan orang longgar. Namun, paling berisiko karena mudah tergelincir atau paling dekat dekat dengan asap.
Bagi suku Tengger yang melarung sesajen, keberadaan kaum Marit ini sudah dianggap biasa. Tak ada amarah atau makian ketika sesajen yang dilemparnya sudah tertangkap tangan beberapa detik setelah dilempar. Warga, berkeyakinan tujuannya adalah memberi persembahan kepada leluhur, bukan masuk lubang kawah gunung.
Seperti yang dilakukan Sulastri, warga Sapikerep, Sukapura. Sambil komat-kamit menyebutkan nama-nama keluarga yang sudah meninggal dunia, keduanya siap melempar sesajen.
“Mbah Bromo, nyuwun diterimo. Paringi seger waras, akeh rejekiku,” ucap Sulastri yang dilanjutkan dengan melempar sesajen yang dibawanya.
Tak urung, beberapa pelaku marit ada yang berteriak, “Bu, sini ae. Sini ae,” meminta keduanya mengarahkan langsung ke alat penangkap mereka. Teriakan itu semakin nyaring, jika yang dilempar uang koin atau kertas. Alat tangkap yang terbuat dari karung beras bekas, mirip penyaring ikan dengan tongkat lebih dari satu meter ini, terulur ke arah lemparan warga. Sulastri mempersembahkan hasil kebun seperti kentang, bawang prei, kol dan sejumlah uang.