Tapi saya tetap memihak Mesir: karena ia Liverpool.
Padahal mestinya saya itu memihak Chelsea. Di Chelsea-lah saya belajar mengelola supporter sepakbola.
Atribut Persebaya itu dulunya terinspirasi dari Chelsea. Tapi emosi saya tetap di Liverpool: sejak Liverpool dapat hadiah penalti. Penendangnya sengaja tidak mau memasukkan bola penalti itu. Tidak seharusnya Liverpool dapat penalti. Wasit lah yang salah lihat.
Tanpa teknologi VAR pun Liverpool sudah fair play. Pokoknya sepakbola itu penuh emosi. Teknologi VAR justru akan mengurangi derajat emosi itu.
Kenapa tidak menambah wasit saja? Menjadi dua? Seperti di basket?
Bayangkan: bagaimana penonton baru bisa meneriakkan ”gooool…” dua menit setelah bolanya masuk gawang. Di mana asyiknya?
Teriakan gooool yang tertunda itu ibarat main seks yang ejakulasinya tersendat.
Tanyakan saja pada Xherdan Shaqiri. Saat pemain Swiss ini mencetak gol kemenangan lawan Serbia. Sabtu dini hari lalu.
Selebrasi Shaqiri bikin heboh. Mungkin ia akan kena denda. Ia copot kausnya. Ia peragakan jempol dan jarinya. Melambangkan bendera Albania.
Shaqiri memang warga Swiss. Tapi darahnya Albania. Waktu kecil ia diajak orangtuanya mengungsi ke Swiss. Setelah suku Albania yang Islam ditindas habis di Serbia.
Akibat perang Balkan itu Albania dan Serbia memisahkan diri dari Yugoslavia.
Perang Balkan ternyata berlanjut di Piala Dunia. Shaqiri salah. Pemain klub Stok City ini membawa politik ke pertandingan sepakbola.
Saat ditanya mengapa mantan pemain Bayern Munchen dan Inter Milan ini melakukan itu jawabnya singkat: saya tadi emosi.
Dendam turunan rupanya dibawa ke bawah sadarnya. (dis)