Ditutupnya sejumlah lokalisasi di Indonesia tidak serta merta membuat bisnis esek-esek meredup. Sebaliknya, bisnis yang bisa dibilang memiliki usia paling tua ini semakin liar dan nyaris tanpa kontrol. Kesehatan publik pun menjadi taruhannya.
*)Laporan M. Asad Asnawi
Kabupaten Pasuruan bisa jadi adalah potret betapa sulitnya menghilangkan praktik prostitusi di negeri ini. Kendati sudah ada Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Pelacuran, nyatanya, bisnis esek-esek di tempat ini tak pernah mati. Sebaliknya, bisnis yang boleh dibilang paling tua itu tumbuh subur.
Sudah menjadi rahasia umum, sejumlah wilayah di daerah ini dikenal sebagai tempat mangkal para pelaku bisnis ini. Diantaranya, kawasan Tretes, Kecamatan Prigen; Tangkis, Gempol, dan juga Pasar Ngopak, Kecamatan Rejoso. Dan, tiga-tiganya berstatus ilegal alias liar.
Sejauh ini, belum ada data resmi yang bisa menyebutkan jumlah pasti PSK yang beroperasi di ketiga lokasi tersebut. Namun, Dinas Sosial setempat menyebut, angkanya diperkirakan mencapai 500 lebih dengan mayoritas di kawasan Tretes. Itupun, sebagian besar berstatus mandiri (warga setempat menyebutnya berdikari).
Di sisi lain, adanya larangan kegiatan prostitusi tersebut bukan saja menjadikan PSK bekerja sembunyi-sembunyi, tetapi juga memunculkan persoalan lain. Terutama, sulitnya mendeteksi keberadaan mereka. Padahal, dalam konteks kesehatan, PSK termasuk kelompok masyarakat yang rentan terkena penyakit menular. Utamanya HIV-AIDS.
Nizam Yahya, mantan pendamping HIV-AIDS mengatakan, larangan kegiatan prostitusi menjadikan para PSK bertebaran di balik rumah-rumah kos. Konsekuensinya, keberadaan mereka menjadi lebih sulit terpantau. Termasuk, usaha untuk memberikan pemahaman akan risiko terkena penyakit, seperti HIV-AIDS jauh lebih sulit.
“(Kesulitan memantau) itu otomatis ya. Kalau ada lokalisasi, atau paling tidak tempat mereka ngumpul, upaya pemahaman itu akan lebih mudah karena mereka sudah terkumpul di satu titik. Nah, yang terjadi sekarang ini kan tidak. Mereka menyebar di mana-mana,” kata Nizam yang sempat menghabiskan lima tahun sebagai manajer kasus HIV-AIDS ini.
Dikatakan Nizam, banyaknya lokalisasi yang ditutup, termasuk Dolly di Surabaya, membuat keberadaan PSK sulit terpantau. Mendeteksi keberadaan para PSK, menurut Nizal, sekarang ini susah. Apalagi, memberi pemahaman kepada mereka akan bahaya kesehatan, termasuk HIV-AIDS, jauh lebih sulit. Padahal, dalam hierarki kelompok rentan HIV-AIDS, PSK menempati urutan kedua.
Di Kabupaten Pasuruan, penyebaran HIV-AIDS memang tergolong tinggi. Data yang diperoleh wartabromo.com, hingga 2016 lalu, tercatat sebanyak 2.120 orang menyandang status ODHA. Yakni, Orang dengan HIV-AIDS. Angka itu sekaligus menempatkan daerah ini di urutan ketiga jumlah ODHA tertinggi di Jawa Timur.
Angka itu diyakini akan terus bertambah mengingat hasil razia PSK yang dilakukan Dinas Polisi Pamong Praja, selalu ditemukan kasus HIV-AIDS. Pada 2016 lalu misalnya. Dari 22 razia yang dilakukan, petugas menemukan 22 PSK positif HIV-AIDS. Begitu pula pada 2017. Dari 14 operasi, ditemukan 22 kasus serupa.
Bagaimana dengan 2018? Sejauh ini, dari tiga kali operasi terhitung Januari hingga Maret lalu, petugas menemukan 5 PSK positif HIV-AIDS. Artinya, jika dibuat rata-rata, petugas selalu menemukan kasus HIV-AIDS baru dari setiap razia yang dilakukan.
“Betul, dan memang begitu keadaannya,” jelas Yudha Tri Widya Sasangka, kepala Dinas Pol PP setempat.
Di sisi lain, pekerja seks dan kesehatan ibarat dua sisi mata uang. Kendati berada di keping yang sama, keduanya sulit untuk berjalan beriringan. Hal itu karena sifat kerja pekerja seks yang menuntutnya untuk bergonta-ganti pasangan. Karena itu, sulit untuk menjamin kesehatan para PSK tanpa diimbangi kesadaran tinggi akan pentingnya kesehatan dari diri mereka sendiri.