Keterbatasan sumber energi fosil membuat Suji Kuswahyudi terus berinovasi. Sukses dengan motor perahu listrik, kini ia berusaha menyelesaikan pembangkit listrik bertenaga angin.
_________
*) Asad Asnawi, Pasuruan
DARI luar, bangunan berukuran 5 ribu meter persegi itu sekilas tak ada yang istimewa. Dengan pagar keliling setinggi tiga meter lebih, ia tak ubahnya seperti gudang padi pada umumnya.
Tapi, jangan salah. Di lokasi itulah Suji melakukan aktivitasnya. Mengutak-atik mesin untuk menciptakan prototipe mesin bertenaga listrik. Hingga saat ini, sudah tak terhitung lagi berapa jumlah mesin yang dibuatnya sejak lulus Fakultas Teknik Institut Teknologi Nasional (ITN) 1988 silam. Mulai dari mesin perahu, hingga mobil yang sama-sama bertenaga listrik.
“Saya memang fokus di listrik. Semua mesin yang saya buat, bertenaga listrik,” kata Suji kepada wartabromo.com.
Bagi Suji, utak-atik mesin bukanlah hal baru. Kebiasaan itu sudah ia gemari sejak masih muda dulu. Untuk menambah pengetahuannya, setelah lulus SLTA, ayah dari Radimas Putri AF (26) dan Radimas Putra MDL (22) ini kemudian melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Malang. Tepatnya di jurusan Teknik Mesin (TM) Institut Teknologi Nasional (ITN).
Berawal dari kegelisahannya terhadap ancaman sumber energy fosil yang kian langka, Suji pun mulai berpikir untuk menciptakan mesin dengan sumber energi terbarukan. Terlebih lagi sumber energi fosil seperti BBM, cenderung naik-turun dan tidak stabil.
“Sebelum sekarang ini, saya sudah memprediksi kalau ini akan terjadi,” terang Suji.
Berangkat dari itu, Suji pun berpikir untuk mengantisipasi kondisi itu. Yakni, dengan membuat mesin penggerak yang tidak menggunakan BBM, melainkan listrik. Paling tidak, keberadaan mesin itu diharapkan mampu mengurangi penggunaan BBM di kalangan masyarakat.
Tahun 2008, Suji pun sukses dengan menciptakan mesin nelayan bertenaga listrik. Belakangan, konsep motor listrik nelayan yang diberinya nama Recharge Motor Indonesia (RMI) itu kemudian dibeli oleh ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) Surabaya.
Bagi Suji, alasannya menciptakan motor listrik nelayan itu cukup masuk akal. Sebab, dengan jumlah nelayan yang mencapai ribuan, jika per harinya masing-masing nelayan membutuhkan minimal satu liter BBM, maka, bisa dibayangkan berapa jumlah BBM yang terkonversi.
“Padahal, rata-rata mereka tidak cukup satu liter,” ujar Suji.
Dikatakan Suji, secara ekonomis, penggunaan mesin motor itu cukup menguntungkan dibanding mesin motor konvensional yang memakai BBM. Sebagai hitungannya, untuk mesin bertenaga BBM, setidaknya, para nelayan membutuhkan Rp 80-100 ribu untuk konsumsi BBM-nya.
Itu pun hanya bisa dipakai sekali melaut. Atau, empat jam pergi-pulang (PP). Ini berbeda dengan pengguaan mesin RMI yang justru secara ekonomis lebih hemat. Sebut saja untuk mesin berkekuatan 16 pk, para nelayan cukup mengeluarkan biaya Rp 2.550 untuk konsumsi energi listrik.
Biaya itu dihitung dari charger listrik selama 10 jam. Padahal, dalam kondisi full baterai, RMI bisa dipakai melaut 6 jam. Artinya, biaya menggunakan mesin RMI sebulan, nyaris sebanding menggunakan mesin BBM selama sehari.
“Selain ekonomis, juga ramah lingkungan,” imbuhnya.
Sukses dengan RMI, Suji lantas mengujicoba motor roda empat berenergi listrik. Sekilas, tidak ada yang berbeda dengan kendaraan roda empat pada umumnya. Pasalnya, kendaraan berkapasitas 4-5 penumpang itu mirip dengan mobil city car yang kini banyak digemari masyarakat.
Suji sendiri belum merasa puas dengan temuan-temuannya itu. Sepanjang napas masih dikandung badan, ia berkomitmen untuk terus berinovasi. Membuat teknologi baru yang ramah lingkungan dan bisa dinikmati masyarakat luas.