Probolinggo (wartabromo.com) – Perkembangan jaman yang kian pesat membuat warga Kota Probolinggo kini semakin melupakan Tari Lengger, kesenian tradisional yang dimilikinya. Beruntung ada dua gadis belia masih peduli melestarikannya.
Keduanya adalah Rukiyati (17) dan kakaknya, Salma (23), warga Kelurahan Kebonsari Kulon, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo. Meski tak seperti selegram dan selebriti, keduanya eksis setiap malam, menari Lengger di depan pasar Mangunharjo, Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Mayangan. Padahal jika ditilik dari usianya, lumrahnya mereka asyik dengan gadget atau menari tarian kontemporer.
“Hanya ingin meneruskan kesenian tradisional daerah, agar tidak hilang tergerus jaman. Karena memang kesenian ini sudah saya kenal turun temurun. Ayah saya, Astro, dulunya seorang pemukul gendang Tari Lengger. Ayah saya sudah puluhan tahun dan merupakan turun temurun di dalam Tari Lengger ini. Makanya setelah ayah saya meninggal, saya tertarik untuk melestarikan kesenian ini. Apalagi ibu saya mengarahkan saya. Mulanya disuruh coba-coba dulu,” terang Rukiyati, Jumat (20/4/2018) malam.
Kakak beradik ini, sengaja menggeluti kesenian lengger, karena ingin melestarikan kesenian Lengger yang semakin hari semakin pudar ditelan jaman. Keduanya bersama penari Lengger lainnya, menunjukkan tontonan. Dari situ pula, mereka bisa mengais nafkah untuk hidup sehari-hari dan mendapatkan rupiah yang halal. Menghibur orang dengan Tari Lengger.
Untuk menikmati hiburan tradisional ini, dapat ditemukan di depan pasar Mangunharjo. Ya gadis-gadis ini, biasa manggung di depan pasar yang dikenal pasar Babian tersebut, bersama grupnya. Untuk jadwal manggung, bisa dibilang setiap hari, kecuali pada saat hujan. Biasanya, dia sudah mulai menari pukul 21.00 WIB sampai pukul 00.30 WIB.
Tiap kali mentas di Pasar Babian, peralatan gendang, srone, dan alat musik lainya sudah disiapkan. Alat musik itu milik salah satu tetua di Tari Lengger Babian. Namun, untuk make up, baju, dan aksesori lainnya, dimiliki mereka dari hasil biaya sendiri.
Biasanya, tip atau upah dari penggemar yang ingin menari bersamanya, besarnya bervariasi. Hasil yang terkumpul itu, kemudian dibagi rata dengan seluruh anggota Lengger lainnya. Mulai dari pemain musik, penari dan penembang. “Tak jarang pula, semalaman menari, kami hanya mendapat enam ribu rupiah saja. Bahkan juga sering, pulang dengan tangan hampa,” keluh Rukiyati.
Kesenian Lengger, merupakan kesenian khas Kota Probolinggo. Layaknya kidungan jula-juli, kesenian ini menampilkan suara sinden, diiringi musik gamelan serta tarian gemulai. Syairnya campuran antara bahasa Madura dan bahasa Jawa. Diketahui, Kota Probolinggo warganya merupakan etnis pendalungan, atau campuran suku Jawa dan Madura.
Tak jarang, kedua gadis belia ini mendapat perlakuan tak senonoh dari penggemarnya. Namun keduanya, sudah punya cara tersendiri untuk menghindari penonton yang bertindak diluar batas kewajaran itu. “Kalau ada penonton yang mabuk dan berusaha mendekati kami, maka kami menyilangkan tangan. Lalu menari menjauh. Setelah itu pasti mereka mundur,” sahut Salma.
Dalam momen peringatan Hari Kartini, kedua seniman muda ini berharap pemerintah memberikan perhatian, turut andil menjaga kesenian ini, agar tidak punah di telan jaman. “Ke depan, setidaknya kesenian ini dapat perhatian dari pemerintah. Sehingga tidak hilang begitu saja ditelan perkembangan jaman,” harap Rukiyati. (lai/saw)