Saya pun memanggil namanya: Audry, sudah bisa tidur? Jawabnya mengagetkan: belum juga.
Berarti sudah tiga hari kurang tidur.
Saya tanya lagi: itu buku-buku apa? Dia jawab: buku-buku pelajaran bahasa Latin.
Katanya: saya harus bisa bahasa Latin. Sebagai syarat untuk bisa diterima kuliah di salah satu universitas di Amerika.
Oh. Kuliah lagi. Kuliah lagi.
Meski dapat predikat magna cumlaude, Audry pernah mengaku kepada saya bahwa dia tidak menyukai fisika. Katanya: terlalu mudah.
Audry dulu ambil fisika hanya untuk menyenangkan orang tua. Dengan mengambil fisika Audry yakin bisa meraih predikat tertinggi. Dan orang tuanya senang.
Katanya: pokoknya orang tua saya senang begitu-begitulah. Saya benci sekali.
Kedua orang tuanya lebih banyak diam ketika kami berdebat seru soal juru selamat, soal surga, neraka, filsafat Dante, soal pacar, lelaki idaman yang dia inginkan bakal jadi suaminya dan soal perkawinan.
“Kami tidak pernah paham pembicaraan begini-begini,” ujar ibunya kepada saya. Setengah berbisik.
Saya bisa bayangkan betapa dingin hubungan anak-orang tua ini. Padahal Audry adalah anak satu-satunya.
Bahwa Audry tadi datang membawa buku-buku berbahasa Latin, mungkin dia membayangkan makan siang yang dihadiri orang tuanya ini akan sangat membosankan. Karena itu dia siap dengan temannya sendiri yang lebih mengasyikkan: buku.
Ternyata buku itu akhirnya tidak dia tengok lagi. Kami berdebat seperti dua hari lalu. Atau seperti saat makan malam di Shanghai tiga bulan lalu.
Ada yang berubah sekarang: orang tuanya sudah lebih bisa menerima Audry apa adanya.
Orang tua Audry sudah beda dengan dulu. Yang selalu ingin mengubah Audry. Menjadi gadis modis, cantik, pintar, sukses, dapat suami kaya dan hidup makmur dan kaya raya.
Kini orang tuanya ikut saya juga, menerima Audry mau apa. Meski dia anak tunggal, Audry sudah dewasa. Begitulah saran kami juga. Memang tetap tidak nyambung, tapi sudah tidak bertentangan. (*)