212 Kades di Jatim dan Kalbar Jadi Tersangka Kasus DD

995

Pasuruan (wartabromo.com) – Sebanyak 212 Kepala Desa (Kades) di Propinsi Jawa Timur dan Kalimantan Barat menjadi tersangka, gara-gara tersangkut dalam perkara penggunaan dana desa (DD) tahun 2016. Penetapan tersangka didasarkan pada temuan BPK RI, yang sebelumnya melakukan audit DD, secara acak di dua propinsi itu.

Adanya problem hukum yang menjerat ratusan Kades itu terungkap dalam acara Audiensi BPK RI, Kementerian Desa bersama sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkab Pasuruan dan Pendamping Desa di Pendopo Kabupaten Pasuruan, Senin (6/11/2017).

Hal lain dari temuan BPK terkait DD, tercatat terdapat penyalahgunaan sebanyak 452 kasus; proyek fiktif ada 214 kasus; serta ketidaksesuaian program sekitar 318 kasus.

Baca Juga :   Wonosari Impikan Pasar Desa

Dari temuan itu, 912 diantaranya masih dalam proses hukum, baik ditangani langsung oleh aparatur kepolisian maupun kejaksaan.

Anggota III BPK RI, Achsanul Qosasi menyebutkan, jumlah temuan hingga dijadikan dasar penyelidikan dan penyidikan hukum tersebut terbilang masih dalam batas rendah.

“Rasio tidak banyak masih 2%. Tapi ini bagian dari pembelajaran, memang proses tahun pertama, tahun kedua, banyak kepala desa yang belum paham. Tapi saat ini sudah banyak yang sudah paham (penggunaan dan pelaporan DD),” ujar Qosasi.

Ia pun berkeinginan, Kades tidak enggan untuk bertanya atau berkonsultasi, baik ke BPK, BPKP hingga Inspektorat, bilamana masih kebingungan terkait penggunaan dan pelaporan pertanggungjawaban DD.

Baca Juga :   Relawan Lokal hingga Australia Tanam Pohon di Lereng Bromo

Dilanjutkan kemudian, pemeriksaan sampai sejauh ini belum sepenuhnya dilakukan, karena selain masih mengaudit DD di Jatim dan Kalbar, pihaknya beberapa waktu lalu fokus pada pemeriksaan kinerja pendamping desa.

Dituturkan dari audit kinerja yang hasilnya telah diserahkan ke kementerian desa itu, saat ini telah diputuskan memberhentikan 20 ribu pendamping desa yang dinilai tidak bekerja secara optimal sebagaimana tujuan awal.

Diungkapkan, dalam kurun 2016 lalu pendamping desa kedapatan tidak menguasai pekerjaan hingga tidak pernah hadir membantu pekerjaan sebagai pendamping pemerintahan desa.

“Padahal negara mengeluarkan Rp 500 milyar setahun, untuk menggaji pendamping desa,” imbuhnya. (ono/ono)