Dalam tahajjudnya, Gus Hafidz sampai merintih-rintih menangis. Ia tangisi bukan hanya nasib saudara-saudaranya di Rakhine, tapi juga ia tangisi suadara-saudaranya di kampung ini.
“Ini bukan hanya luka ya Allah, tapi sebuah tragedi yang merembet ke mana-mana. Membuat dunia ini makin tak kerasan,” bisiknya kepada Yang Maha Mendengar bisikan.
“Di sini kami bahkan hampir saling berselisih dengan saudara sendiri. Sementara para “syuhada” di Rakhine yang telah Kau panggil, hmmm, bergembira dalam pelukan-Mu. Ampuni kepongahan kami yang belum juga jernih memahami suratan takdir-Mu. Kami marah atas apa yang Kau timpakan kepada penduduk Rakhine, padahal mereka sedang berpesta di alam Barzakh. Menikmati perjumpaan dengan-Mu, dengan Kanjeng Nabi. Harusnya kami bergembira atau setidaknya legawa, karena mereka yang “syahid” sebenarnya tidak binasa. Mereka hanya Kau selamatkan dari dunia yang menyakitkan ini. Ya Rabb, berikan kepada kami kerelaan hati dan kejernihan pikiran. Berikan kami petunjuk untuk tidak menangisi hal yang sebenarnya harus dirayakan,”
“Yang sangat memalukan, ya Rabb, kami jual air mata rakyat Rakhine sebagai komoditas. Kami menggalang dana, mengirimkan relawan, membuat puisi, menulis artikel, mengunggah foto, menjual isu, menjewer oposisi politik dan ideologi kami atas nama air mata penduduk Rakhine. Tangisan penduduk Rakhine kami jual dalam berbagai kemasan dan varian,”
“Ada yang mengajak kami untuk marah dan mendendam. Tapi setelah kami teliti, kemarahan itu bukan atas nama-Mu. Kemarahan itu sangat politis, bukan atas nama keadilan dan kemanusiaan. Ada yang mengajak kami untuk diam dan bersabar. Tapi mana bisa kami bersabar terhadap ketidak adilan? Ada yang mengatakan jika tragedi Rakhine bukan urusan kami. Tapi mana mungkin kami membuta tuli sedangkan sesama manusia, kami adalah satu tubuh? Menyakiti seorang anak manusia, sama dengan menyakiti seluruh anak Adam di muka bumi,”
“Seseorang melarang kami menangisi tragedi Rakhine. Seseorang menganggap kami terlalu sentimentil karena ikut mendermakan kesedihan kami. Seseorang melarang kami membicarakan tragedi Rakhine di warung-warung kopi. Bahkan entah siapa, mengancam kami jika masih berani membicarakan luka Rakhine di sini,”
“Ya Rabb, Firman Murtado bilang jika sudah ada yang menjual botol-botol berisi air mata penduduk Rakhine. Dijajakan di lapak-lapak online, dan keuntungannya akan digunakan untuk membiayai pemilu. Sudah ada yang mengemas air mata dari Rakhine dalam botol plastik, diberi label dan bendera tertentu,”
“Ya Rabb, kami harus bagaimana? Bolehkah kami ikut marah dan mendendam agar kami dianggap peduli? Tapi Wak Carik dan Wak Danramil melarang kami untuk ikut marah. Apa kami hanya harus diam saja? Pura-pura tak mendengar. Tapi apa Kau takkan marah kepada kami? Wak Mudin menyuruh kami untuk marah, tapi apakah Wak Mudin telah mendapat izin-Mu? Bukankah hanya Engkau yang berhak memurkai atau menyayangi? Dan, jika kami marah di sini, di kampung yang damai ini, apa kami takkan merusak ketenteraman masyarakat?”
“Ya Rabb, kami terlanjur menjadi manusia, terlanjur punya simpati bahkan benci. Tapi kami bingung bagaimana mempergunakan simpati dan benci? Pak Kades melarang kami membawa kesedihan dari Rakhine State ke kampung ini. Sementara kesedihan tak mengenal tempat dan waktu, bahkan tak memerlukan alasan, bukan? Bahkan cinta universal yang Kau ajarkan harus kami tebar kepada siapa dan apapun di bumi dan cakrawala ini? Kami satu tubuh dengan penduduk Rakhine, sama-sama anak Adam, tapi kami dilarang menangisi kepedihan mereka. Kami dikatakan cengeng, gembeng, melankolis, emosional, lebay karena menangisi luka sejarah di Rakhine. Kami dilarang membenci siapa pun, karena kepedihan si Rakhine berasal dari-Mu,”
“Ya Rabb, kami kecewa, tapi tak berani untuk marah. Kami bersedih, tapi malu untuk menangis. Ampuni kami yang penakut dan gamang ini,”
________
Penulis : Abdur Rozaq (WartaBromo)
Catatan : Tulisan ini hanya fiksi semata,
Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan dan tidak ada unsur kesengajaan.